Wednesday, August 24, 2011

Pak Mendiknas, Beginilah Wajah (sebagian) Guru Kita

Para guru merupakan komponen utama untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Mereka harus mampu mandiri untuk memberdayakan dirinya sendiri. Tanpa itu, peserta didik (baca: siswa) akan tertinggal oleh perkembangan zaman. Pada akhirnya, kondisi itu akan mengganggu kesejahteraan bangsa pada waktu yang akan datang. Itulah penggalan isi berita Kompas cetak kemarin (Senin, 28 Maret 2011). Berita itu menyoroti masalah kemandirian guru Indonesia.
Sebagai seorang guru, banyak hal harus dikuasai agar mampu menjadi panutan atau teladan bagi peserta didik, lingkungan, dan bangsa. Karena itu, tak henti-hentinya, aku selalu mengajak diri dan orang lain, “Marilah kita menjadi guru yang benar-benar profesional. Guru yang menghayati profesinya demi tercapainya pendidikan yang berkualitas.”
Namun, apatah upaya itu dilakukan oleh seorang ini. Begitu banyak masalah dihadapi dunia pendidikan. Dan masalah itu dapat berawal dari guru. Maka, aku berusaha mengurai masalah yang berkaitan dengan guru. Ada lima masalah yang menjadi penghambat kemajuan pendidikan kita. Kelima masalah itu adalah kehilangan jiwa pengabdian, keengganan untuk menimba ilmu, terasuki jiwa konsumerisme, mental pengemis, dan gemar berkhayal. Inilah pembahasannya.
Masalah 1: Kehilangan Jiwa Pengabdian
Guru tidak lagi menjadi panutan. Banyak hal yang membuktikan bahwa perilaku guru tidak layak dilakukan seorang guru, baik perilaku dalam sekolah maupun di luar sekolah. Ketidaklayakan perilaku guru di sekolah terlihat dari hilangnya roh atau jiwa pengabdian. Banyak guru enggan mengajar dan mendidik peserta secara penuh. Mereka sering menerapkan metode CTL (Catat Tinggal Lari). Mereka sudah menghilangkan dan kehilangan jiwa pengabdiannya tanpa permisi.
Ini adalah masalah krusial. Bagaimana mungkin peserta didik akan menjadi cerdas jika gurunya enggan mendidiknya? Peserta didik hanya diberi LKS (Lembar Kegiatan Siswa). Usai itu, guru memberikan tugas kepadanya. Lalu, guru itu pergi dan tak kembali. Aduh, mental guru ini benar-benar bobrok. Apakah guru yang bermental demikian masih ada? Masih dan banyak sekali. Mau bukti?
Suatu hari, aku akan mengajar ke suatu kelas. Usai terdengar bel pergantian jam mengajar, aku berpindah kelas tanpa istirahat. Mengapa? Jarak kelas dengan ruang guru agak jauh. Jadi, aku berusaha menghemat waktu dan tenaga. Lebih baik aku terus mengajar ke kelas lain. Kondisi fisikku pun masih terjaga keprimaannya.
Ketika aku tiba di kelas tujuan, aku mendapati beberapa buku di meja guru. Lalu, aku bertanya kepada murid, “Ini bukunya siapa?”
Lalu, sontak mereka menjawab, “Bukunya Bu Guru X!”
Aku heran. Sepintas, aku tadi melihat bu guru itu sedang berleha-leha di lain. Jadi, ternyata anak-anak ditinggali buku saja. Anak-anak disuruh belajar mandiri. Sementara, gurunya justru pergi. Dengan nada guyonan, aku berujar, “Ya sudah. Memang gurumu bermental begitu!” Dan anak-anak pun tertawa riuh. Ya, anak-anak memang sudah begitu paham dengan kelakuan guru itu. Jadi, mereka tidak kaget lagi!
Masalah 2: Keengganan Menimba Ilmu
Ilmu itu dapat diibaratkan air laut. Begitu terminum, bukan hausnya hilang. Namun, rasa haus justru akan terus terasa. Mencari ilmu pun demikian. Begitu dikaji dan diteliti, ilmu akan menampakkan kita sebagai pribadi yang bodoh. Semakin dikaji mendalam, dasar ilmu itu justru menjadi semakin dalam. Maka, betapa mulianya orang yang getol dan gemar mencari ilmu meskipun berusia senja. Dan semangat itu harus dimiliki profesi guru.
Aku sudah terlalu sering mengajak rekan-rekan guru agar sekolah atau kuliah lagi. Aku sudah memberikan contoh-contoh konkret bahwa tidak ada orang menjadi miskin karena rajin mencari ilmu. Namun, jawaban rekan-rekan guru selalu sama: tidak punya uang. Dan alasan itu terasa mengherankan dan membuat terheran-heran. Mengapa?
Untuk membeli motor, mereka berani kredit hingga 10 tahun. Untuk membeli HP baru, mereka berani berhutang ke koperasi sekolah. Untuk membangun rumah, mereka berani menggadaikan sertifikat. Namun, semangat berkorban itu tidak digunakan untuk mencari ilmu. Sungguh teramat ironis. Jika guru tidak bersemangat mencari ilmu, bagaimana mungkin siswanya juga bersemangat untuk mencari ilmu? Bukankah guru harus menjadi panutan dan atau teladan?
Masalah 3: Terasuki Jiwa Konsumerisme
Tunjangan seritifikasi ternyata tidak berdampak positif kepada peningkatan mutu pendidikan. Tunjangan sertifikasi hanya berdampak pada aspek nonpendidikan, seperti peningkatan kesejahteraan guru. Ternyata, kondisi ini disebabkan oleh jiwa konsumerisme guru. Bagaimana aku mengetahuinya?
Tunjangan satu kali gaji pokok lumayan besar juga. Aku mendapatkan gaji rerata dari semula Rp 3 juta menjadi Rp 5 juta per bulannya. Dan aku masih menempatkan tunjangan profesi itu secara utuh di bank. Mengapa tidak kuambil? Aku mempunyai alasan tersendiri.
Pemerintah memberikan tunjangan profesi untuk meningkatkan profesionalisme guru. Jadi, tunjangan itu seharusnya digunakan untuk membantu guru yang mengalami kesulitan ketika berusaha meningkatkan profesionalismenya. Apa saja itu? Kemiskinan laptop, ketiadaan sarana dan media pembelajaran, dan penelitian. Jadi, pemerintah memang baik dan berniat baik. Namun, lagi-lagi guru bermental buruk. Apa itu? Mereka berjiwa konsumerisme.
Uang tunjangan profesi digunakan banyak guru untuk membeli kebutuhan di luar kebutuhan pendidikan. Mereka membelanjakan uang itu justru untuk kepentingan non pendidikan. Maka, aku sering menyebut kondisi itu sebagai pengkhianatan profesi.
Masalah 4: Mental Pengemis
Namanya saja nafsu selalu saja mengajak manusia untuk meminta dan meminta. Nafsu memang menggiring manusia ke jiwa serakah, tamak, dengki, dan iri. Susah melihat orang senang, senang melihat orang susah. Dan jiwa itu pun dimiliki para guru. Mereka bermental pengemis.
Teramat jarang guru mempunyai kegemaran memberi. Baginya, memberikan ilmu yang dimilikinya sudah dianggap cukup. Maka, terlihatlah guru-guru yang rakus di sekolah. Mereka masih berjualan buku, LKS, alat peraga, iuran praktik, dan pungutan-pungutan lain. Ah, tidak akan habis untuk membahas kondisi buruk ini.
Masalah 5: Gemar Berkhayal
Bagi si kecil, kita harus menumbuhkan imajinasi positif agar mereka terangsang menjadi insan kreatif. Mereka harus dibuai oleh khayalan-khalayan indah. Betapa enaknya jadi presiden atau menteri. Kemana-mana selalu dikawal. Betapa enaknya jadi pilot. Mampu menerbangkan pesawat di angkasa nan luas. Namun, khayalan itu seharusnya dihindari guru. Mengapa?
Guru yang gemar mengkhayal akan terjerumus dan menjerumuskan diri ke jurang kesengsaraan. Keinginannnya begitu besar, tetapi kemampuannya begitu kecil. Mereka ingin tampil necis, tetapi isi kantong begitu tipis. Maka, satu-satunya jalan adalah kredit bank. Dan ini adalah awal petaka.
Demi menurutkan keinginan, banyak guru rela menggadaikan SK untuk mencari pinjaman. Bank tentu saja menuruti keinginan itu. Mengapa? Tentu PNS tidak mungkin mangkir atau menjadi kredit macet. Dan ini adalah bentuk perwujudan khayalan itu. Guru sudah kehilangan gaji selama 5-10 tahun. Dan kondisi itu menjadi tragedy dunia pendidikan. Mengapa? Guru tidak lagi bergairah karena kehilangan penghasilan.
Begitulah, Pak Mendiknas, renungan pagi ini berkenaan dengan isi berita. Mari Pak Mendiknas, kita mengubah mental-mental guru itu secara bersinergi. Sejujurnya, Pak Mendiknas, aku trenyuh alias malu melihat mental guru-guru itu. Terserah Bapak sajalah, bagaimana aku harus membantu mengubah keadaan itu. Terima kasih Bapak (semoga) berkenan membaca tulisan ini.
Semoga bermanfaat. Amin. Terima kasih.

Penulis Johan Wahyudi : Writerpreneur dan Edu Trainer, Penulis dan Penyunting Buku, Pengajar, Peneliti (PTK), Penerima Beasiswa Kemendiknas Program Doktor, dan Motivator. Senang diundang untuk berdiskusi tentang Penulisan PTK atau Buku. BANYAK MEMBERI BANYAK MENERIMA. HP 0856 251 7895 atau email jwah1972@gmail.com.
sumber : klik disini 

1 comment:

  1. lah ora penting, sing penting guru bayarane akeh, siiiiip

    ReplyDelete

Jadilah anda yang pertama

Berita Terbaru