"Idealnya, karena penetapan Idul Fitri menyangkut masalah fikih sosial, jika kita kompak tidak akan ada perbedaan. Bahkan cukup satu fatwa dalam satu negara"
ADA penulis surat pembaca di sebuah surat kabar mewanti-wanti agar tahun 2011 umat Islam melaksanakan Idul Fitri bersama-sama, tidak ada perbedaan. Alasannya, perbedaan hari mengurangi syiar dan cenderung mengundang perpecahan. Ia memberi solusi alternatif, bergantian memakai prinsip penetapan Idul Fitri, misalnya tahun ini memakai aliran rukyah, tahun depan aliran hisab, begitu seterusnya dengan prinsip imam dan makmum. Dasar penetapan Idul Fitri sebenarnya berlandaskan pada hadis dan pemahamannya memunculkan perbedaan pemahaman: aliran rukyah dan aliran hisab. Hal ini wajar karena hadis tersebut memang masih mengandung beberapa arti, di antaranya rukyah bil ilmi (yang melahirkan aliran hisab) dan rukyah bil ain (yang melahirkan aliran rukyah).
Bahkan di Indonesia ada banyak aliran, dampak dari perbedaan pemahaman hadis hisab rukyah. Namun yang banyak mewarnai wacana penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah hanya aliran rukyah satu wilayah negara (rukyah fi wilayatil hukmi) yang dipakai Nahdlatul Ulama, aliran hisab wujudul hilal yang dipakai Muhammadiyah, dan hisab imkanurrukyah yang dipakai pemerintah. Memang ada aliran yang baru naik daun dan ’’naik publik’’ yakni rukyah internasional atau global yang dipakai oleh Hizbut Tahrir dan aliran-aliran kecil seperti an-Nadir Gowa Sulawesi Selatan, Tariqah Naksabandi Padang. Masing-masing aliran sering mengeluarkan fatwa sehingga wajar ada perbedaan dalam penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.
Berdasarkan perhitungan hisab hakiki kontemporer yang diakui keakuratannya, ijtima (konjungsi matahari dan bulan pada akhir Ramadan 1432 terjadi hari Senin Wage, 29 Agustus 2011/ 29 Ramadan 1432 pukul 10.04/ 17.75 WIB. Situasi pada saat ghurub di Pantai Pelabuhan Ratu: matahari terbenam pukul 17.54.26 WIB, ketinggian hilal mar’I +01 derajat 53 menit 2 detik .
Untuk seluruh wilayah, dari Sabang sampai Merauke ketinggian hilal mar’I masih di bawah 2 derajat. Namun data hisab di banyak kalender ada yang menyatakan hilal sudah di atas 2 derajat. Penulis menduga para hasib yang mencantumkan data ketinggian hilal sudah di atas 2 derajat menggunakan metode taqribi.
Dari data hisab tersebut jelas bahwa hilal dalam posisi rawan. Mengapa? Karena dengan data hisab tersebut maka secara gamblang aliran hisab wujudul hilal yang dipegang Muhammadiyah berani menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh pada Selasa Kliwon, 30 Agustus 2011 karena menurut perhitungan (hisab), hilal sudah ada yang di atas ufuk.
Fikih Sosial
Adapun Nahdlatul Ulama yang mendasarkan pada rukyatul hilal fi wilayatil hukmi harus menunggu hasil rukyatul hilal pada Senin Wage, 29 Ramadan 1432/ 29 Agustus 2011. Dengan data hisab ketinggian hilal marĂI dalam ketinggian yang ’’rawan’’ yakni masih di bawah 2 derajat, kiranya sangat sulit untuk bisa melihat hilal. Apalagi menurut prakiraan BMG, seluruh Indonesia saat itu dalam kondisi mendung. Karena itu, jika tidak berhasil melihat hilal, tentunya Nahdlatul Ulama menentukan 1 Syawal 1432 H pada Rabu Legi, 31 Agustus 2011, dengan menyempurnakan puasa Ramadan 30 hari (dasar istikmal).
Namun jika NU menerima, ada yang menyatakan bisa melihat hilal, penetapan 1 Syawal akan sama dengan Muhammadiyah, yaitu Selasa Kliwon, 30 Agustus 2011. Tapi ini kemungkinannya sangat kecil sekali. Begitu pula pemerintah, jika memang konsisten memegang prinsip hisab imkanurrukyah, tentunya menunggu hasil rukyatul hilal lebih dahulu. Apalagi kalau pemerintah mendasarkan pada kriteria hisab imkanurrukyah tradisi Indonesia, yakni ketinggian minimal 2 derajat, hilal baru dapat berhasil dilihat maka dengan data hisab tersebut, tentunya pemerintah berani menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh pada Rabu Legi, 31 Agustus 2011, dengan menyempurnakan puasa Ramadan 30 hari.
Idealnya, karena ini menyangkut masalah fikih sosial, jika kita sepakat dan kompak, tidak akan terjadi perbedaan. Bahkan cukup satu ifta (fatwa) dalam satu negara. Penetapan pemerintah menyelesaikan dan menghilangkan perbedaan. Tidak seperti selama ini, masing-masing ormas mengeluarkan fatwa. Lain halnya kalau masalah ini diserahkan kepada masyarakat sebagaimana didengungkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sehingga pemerintah tidak perlu memberikan ifta. Biarkan masyarakat ikut yang mana sehingga dalam hal ini yang perlu dikembangkan adalah sikap tasamuh, toleransi, agree in disagreement - ittifa’ fil ikhtilaf. (10)
— Dr H Ahmad Izzuddin MAg, Ketua Umum Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Falak Indonesia, anggota Badan Hisab Rukyah Kemenag, dosen IAIN Walisongo Semarang
sumber : klik disini
No comments:
Post a Comment
Jadilah anda yang pertama