Pemilihan Bupati dan Wakil 2011 telah usai, penghitungan cepat untuk sementara pasangan nomor urut 4. Sutejo Slamet Utomo dan Hadi Supeno unggul 39 %. Namun hasil resminya masih menunggu waktu KPU menghitung secara manual/bukan hitung cepat.
Catatan yang akan kusampaikan tentang berbagai rasa bagi saya sebagai warga Banjarnegara. Rasa syukur, Alhamdulillah Pilkada lancar dan aman. Tidak ada insiden, masyarakat rukun dan damai walau beda pilihan. Rasa bangga Banjarnegara bisa melaksanakan Pilkada dengan tak ada kendala.
Namun di antara rasa syukur dan bangga terselip prihatin yang mendalam. Mengapa? Politik uang lagi-lagi menjadi masalah klasik pilihan di mana pun tak terkecuali di Banjarnegara. Sudah bukan rahasia lagi ada pasangan calon yang terang-terangan melalui tim suksesnya bagi-bagi amplop dengan uang bervariasi. Konon satu suara ada yang dihargai Rp20.000 dan ada yang Rp 10.000.
Parahnya calon dari etnis non Jawa itu sering dilecehkan dengan mengatakan etnisnya dengan nada melecehkan. Namun ternyata saat diberi uang, uang diterima dan dipilihlah ia di bilik suara. Nah lho!
Saya sendiri begitu sering mendengar kata-kata “Dia kan…..(etnisnya disebutkan)”. “Dia kan juga WNI yang berhak untuk mencalonkan diri jadi bupati bahkan prsedien sekali pun, kalau merasa tidak suka ya jangan dipilih, jangan dilecehkan etnisnya”. Entah berapa kali saya mengatakan itu, bahkan kepada Bapak mertua saya. Apa salahnya jadi Cina? (Nah malah saya sebut). Mereka juga WNI, bahwa mereka melanggar atau melakukan politik yang tidak bersih itu masalah lain bisa terjadi pada siapa saja.
Dana besar yang dimiliki pengusaha kaya yang bergerak di bidang kontraktor ini membuat masyarakat menjulukinya “uangnya tak berseri” (duwite ora ana nomor serine).
Politik uang ini menodai Pilkada yang telah berjalan lancar, aman namun ternoda politik uang.
Siapa sih yang jadi sasaran money politic ini? Orang-orang yang dianggap miskin atau yang mau saja diberi imbalan untuk suara yang diberikan. Tidak semua pemilih diberi uang. Mereka beranggapan mau memilih kalau diberi uang, sebagai ganti uang yang biasanya mereka dapatkan saat ngontrak (buruh/bekerja pada orang lain).
Penghayatan terhadap agama atau religius mereka ternyata tipis saja, dari segi agama uang itu kan hukumnya haram. Apakah mereka tahu atau pura-pura tidak tahu karena saking miskinnya?
Di sebuah desa di Banjarmangu saat dirazia tertangkap semua pelaku-pelaku politik uang atau suap untuk meraup suara. Jadi tulisan ini bukan bualan.
Jika tetanggaku makan uang haram karena butuh untuk makan dan miskin, lebih tragis lagi gonjang-ganjing Partai Demokrat yang makan uang suap berjamaah, padahal mereka jauh dari miskin. Atau mereka bahkan lebih miskin dari tetanggaku? Miskin moralitas dan rasa kejujuran.
Oh Indonesia tidak miskin tidak kaya semuanya mau saja makan uang yang bukan haknya! Prihatin.
BUDE BINDA
Banjarnegara, Senin 25 Juli 2011
sumber : klik disini
No comments:
Post a Comment
Jadilah anda yang pertama