Friday, August 10, 2012

Al Quran Kitab Suci Masyarakat Modern


Bulan Ramadan adalah bulan turunnya Al Qur’an. Inilah kesempatan kita untuk mengenal kitab suci yang ajaib ini lebih mendalam. Sebuah kitab yang sangat sesuai dengan kondisi masyarakat modern. Apakah tanda-tandanya bahwa kitab ini cocok bagi peradaban akhir zaman?

Yang pertama, inilah kitab suci yang sejak awal sudah punya perhatian besar pada budaya baca tulis. Karena itu, sejak awal turunnya di gua Hira’ , Al Qur’an sudah mengedepankan budaya membaca. Dan itu diabadikan oleh Allah di dalam Al Qur’an. ‘’BACALAH dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq (embrio). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan PENA. Dia mengajari manusia segala apa yang tidak diketahuinya.’’ [QS. Al ‘Alaq: 1-5].


Bukan hanya itu, di wahyu kedua pun Allah memberikan perhatian kepada budaya baca tulis dengan mewahyukan surat Al Qolam – surat Pena. ‘’ Nun, demi pena dan apa yang mereka tuliskan.’’ [QS. Al Qolam: 1]. Ayat yang dimulai dengan huruf Nun itu menjadi langkah selanjutnya dari proses pembelajaran Rasulullah yang ummi alias buta huruf itu dalam baca tulis. Malaikat Jibril-lah yang diutus Allah untuk mengajari beliau lewat wahyu yang berangsur-angsur selama 23 tahun. Sehingga, tidak heran, dalam puluhan ayat yang turun selanjutnya Allah mewahyukan berbagai surat yang dimulai dengan huruf-huruf seperti itu.

Ada yang dimulai dengan satu huruf semisal Qaf, Shad dan Nun. Ada yang dua huruf seperti Ya Sindan Tha Ha. Ada yang tiga huruf seumpama alif lam mim dan alif lam ra. Serta ada pula yang sampai lima huruf sebagaimana kaf Ha Ya Ain Shad. Semua huruf-huruf itu, selama ini ditafsiri sebagai sesuatu yang rahasia. Sehingga dalam banyak kitab terjemah cuma diberi penjelasan dalam kurung (Allah saja yang tahu maksudnya). Tetapi, saya melihat ini sebagai proses pembelajaran kepada Rasulullah untuk mengenal huruf-huruf Hijaiyah. Artinya, Rasulullah yang buta huruf sebelum menjadi Nabi itu, kelak memang menjadi Nabi yang sesuai dengan zaman modern. Yakni sebuah zaman yang berbasis pada budaya baca-tulis.

Budaya baca tulis itu mulai dari yang berbentuk pahatan pada batu, kulit dan tulang binatang, pelepah pohon, kertas papirus, sampai pada peralatan digital seperti berkembang di era komunikasi sekarang. Sehingga Al Qur’an yang awalnya dituliskan pada media-media konvensional itu pun kini sudah berkembang menjadi Al Qur’an Digital, dengan berbagai fasilitas kemudahannya.

Yang kedua, peradaban modern adalah peradaban yang berbasis pada mekanisme akal dan data-data empirik. Ternyata demikian pulalah Al Qur’an mengajari manusia dalam beragama. Proses keimanan di dalam Al Qur’an bukan diajarkan secara dogmatis atau apalagi lewat doktrin-doktrin, melainkan lewat argumentasi yang jelas. Sehingga, dengan sangat tegas Allah melarang melakukan pemaksaan dalam beragama. Laa ikraaha fiddiin – tidak ada paksaan dalam beragama, sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam QS. Al Baqarah: 256.

‘’Tidak ada paksaan dalam beragama. Sungguh sudah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (Tuhan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’’

Bukan cuma menginformasikan, dalam ayat berikut ini, bahkan Allah melarang alias mengancam akan menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang memaksakan kehendak dalam beragama. Allah saja tidak memaksa, kok kita mau memaksa-maksa orang lain. ‘’Dan JIKA Tuhanmu MENGHENDAKI, pastilah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) MEMAKSA manusia supaya mereka BERIMAN semuanya? Tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan AKALnya.’’ [QS. Yunus: 99-100].

Seiring dengan tidak boleh memaksakan kehendak dalam beragama itu, Allah juga menegaskan agar kita beragama dengan argumentasi yang kuat, yang diistilahkan sebagai hujjah. Mulai dari bertuhan kepada Allah, bernabi kepada Rasulullah Muhammad, berkitab pada Al Qur’an, dan berbagai macam mekanisme peribadatan kita, semuanya mesti dilakukan berdasar pada hujjah, alias argumentasi yang kuat. Bukan hanya berpegang kepada ‘pokoknya harus begini dan begitu’. Dengan kata lain, keimanan kita memang harus berproses seiring dengan penggunaan akal dan ilmu pengetahuan.

Karena itulah dengan sangat telak Allah berfirman, bahwa orang-orang yang tidak menggunakan akalnya tidak akan bisa mengambil pelajaran dari Al Qur’an Al Karim. Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai ayat Qur’an, diantaranya berikut ini: ‘’... wamaa yadzdzakkaru illa uulul albaab – dan tidak bisa mengambil pelajaran dari (firman-firman) Allah kecuali orang-orang yang menggunakan akal kecerdasannya.’’ [QS. Ali Imran: 7].

Maka, lewat kisah Nabi Ibrahim sebagai The Founding Father agama Islam, Allah memberikan pelajaran tentang bagaimana seharusnya umat Islam memahami dan menjalankan agamanya. Termasuk dalam menanamkan ketauhidan atas Tuhan satu-satunya di jagat semesta raya ini. ‘’Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya. Dan aku termasuk orang yang dapat memberikan BUKTI atas yang demikian itu." [QS. Al Anbiyaa’: 56]

‘’Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Berilmu.’’ [QS. Al An’aam: 83].

Wallahu a’lam bishshawab.

sumber : klik disini

No comments:

Post a Comment

Jadilah anda yang pertama

Berita Terbaru