Monday, April 9, 2012

Kontroversi Seputar Perda Syariah

KONTROVERSI SEPUTAR PERDA SYARI'AH
Oleh: DR. Zainuddin, MA[1]
Abstrak
 Pada satu sisi kelompok Islam menginginkan aturan hukum yang berlaku di Indonesia, bernuansa syar’iah, setidaknya bagi umat Islam, karena problem masyarakat selama ini cendrung disebabkan oleh melemahnya komitmen keagamaan dan tidak tegaknya syari’at. Pada sisi lain kelompok sekuler dan non muslim tidak menginginkan adanya intervensi agama ke dalam negara. Kontroversi ini tidak tetap muncul di zaman otonomi daerah, dengan munculnya keinginan untuk menerapkan Perda Syari’ah di beberapa daerah yang berbasis Islam.
 Akar Kontroversial di atas berawal dari beberapa masalah berikut: Perbedaan Pandangan dalam Melihat Islam, Problem Sumber Hukum, Studi Hukum Islam yang Bersifat Teoritis, Kontroversi Kelompok Agamis dan Nasionalis, Kontroversi Muslim dan non Muslim.
Kontroversi ini agaknya akan terus berlanjut bila tidak dilakukan kompromi-kompromi politik atau kembali ke prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai universal. Di samping itu dapat juga dieliminir akar persoalan yang menjadi penyebab kontroversi ini.
A.     Pendahuluan
Di zaman Orde Baru dalam berbagai kesempatan Presiden Soeharto sering mengatakan bahwa Indonesia bukan Negara agama dan bukan pula Negara sekuler. Pernnyataan ini nampaknya ingin menunjukkan pada satu sisi agar tidak terjadi dominasi agama dan pada sisi lain agama juga tidak dapat diabaikan. Namun karena dominasi kekuasaan sangat kuat tidak muncul reaksi politik yang bernuansa agama, kalau toh muncul langsung dipotong oleh kekuasaan. Indikator yang cukup menentukan terhadap hal ini adalah munculnya kebijakan pemerintah menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas, atau dikenal juga dengan asas tunggal. Semua organisasi, baik ormas kegamaan maupun ormas non keagamaan menjadi merubah asasnya dengan Pancasila kalau ingin tetap diakui keberadaannya di bumi pertiwi ini.
             Semenjak tumbangnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi kebijakan pemerintah tentang asas tunggal berubah. Ormas-ormas atau organisasi apapun mendapat angin segar untuk bernafas, sehingga tidak lagi semua organisasi berasaskan Pancasila. Banyak organisasi yang kembali ke khittahnya semula. Ormas-ormas Islam mengembalikan asasnya kepada Islam. Ormas Islam yang dulunya bergerak di bawah tanah, karena tidak mau menerima asas tunggal, kembali hidup bebas di udara Republik Indonesia.
            Seirima dengan bertiupnya angin segar di bawah bendera reformasi, muncul pula keinginan bagi sebagian kalangan yang peduli pada komitmen keislaman agar Islam betul-betul eksis, baik secara normatif maupun kultural. Untuk mencapai hal ini menurut mereka harus dimulai melalui politik kekuasaan. Keinginan ini terlihat dari kemunculan berbagai partai Islam. Di samping itu di daerah-daerah yang memiliki basis keislaman yang kuat muncul pula keinginan untuk menerapkan ajaran Islam secara holistik. Aceh, umpamanya, menuntut diberlakukannya Undang-Undang Otonomi khusus sebagai daerah Istimewa dan sebagai daerah yang memiliki budaya Islam yang sangat kental, yang terkenal dengan serambi Mekah. Begitu juga daerah-daerah lain seperti Sumatera Barat, Banten, Bulukumba dan lain-lain sebagainya. Sehingga akhirnya gagasan ini menjadi perdebatan yang sangat kuat di kalangan Anggota DPR untuk mengakui keberadaan Peraturan Daerah (Perda) Syar'iah. Sampai saat ini belum terjadi kata sepakat di antara mereka.
            Tulisan ini akan mencoba melihat kontroversial seputar Perda Syari'ah ini dan dimana akar permasalahannya. Kalaupun telah ada komentar dan pendapat seputar ini, mungkin masih ada sisi lain yang dapat dilihat  dengan kacamata mata yang berbeda.
B.     Pengertian
            Perda (Peraturan Daerah) Syari'ah adalah suatu peraturan yang bermuatan nilai dan atau norma Islam yang bersumber dari Alqur'an dan Sunnah yang berlaku di suatu daerah. Peraturan Daerah merupakan urutan terendah dalam urutan tata hukum di Indonesia.
Tidak sama antara istilah syari'ah yang dipahami secara umum oleh orang ketika membicarakan perda syari'ah dengan syari'ah dalam kajian hukum Islam. Dalam kajian hukum Islam istilah Syari'ah dibedakan antara syari'ah dalam arti sempit dan syari'ah dalam arti luas. Syari'ah dalam arti sempit  berarti teks-teks wahyu atau hadis yang menyangkut masalah hukum normatif. Sedangkan dalam arti luas adalah teks-teks wahyu atau hadis yang menyangkut aqidah (keyakinan), hukum dan akhlak. Dalam hal ini syari'ah berarti teks ajaran Islam secara keseluruhan.
Dalam konteks Perda syari'ah nampaknya yang digunakan adalah syari'ah dalam arti sempit. Namun hal ini tetap saja berbeda pengertian syari'ah tersebut, karena yang dimaksud syari'ah adalah teks wahyu atau hadis yang tidak ada intervensi manusia. Sedangkan yang dijadikan perda syari'ah tidaklah teks-teks wahyu atau hadis, akan tetapi sudah merupakan pehaman atau penafsiran dari teks tersebut, sekurang-kurangnya terjemahan teks. Di sini sudah banyak terjadi intervensi manusia.
            Produk hukum yang sudah diintervensi manusia tidak lagi bernama syari'ah. Dalam terminologi hukum Islam hukum ini disebut fiqh. Dalam hal ini fiqh merupakan hasil ijtihad ulama atau fukaha yang mengacu pada dalil Alqur'an dan atau Sunnah (syari'ah). Dalam konteks kehidupan bernegara hasil ijtihad ini dijadikan hukum hukum positif atas dasar kesepakatan legislatif. Hukum ini dikenal dengan qanun, yang dalam bahasa Indonesia disebut undang-undang. Bila sumber pembentukan qanun itu Alqur'an dan Sunnah disebutlah ia dengan qanun syar'i. Akan tetapi bila bersumber dari semata pemikiran manusia atau sumber-sumber selain wahyu dinamakan dengan qanun wadh'i. Qanun inilah nampaknya yang diinginkan berlaku oleh para pencinta Perda Syari'ah, bukan syari'ah atau hukum syar'i, karena syari'ah adalah teks-teks asli dari Alqur'an atau Hadis yang sebagian besar masih memerlukan penjelasan dan penafsiran para ulama.
            Istilah syari'ah ini di Indonesia nampaknya tidak lagi mengacu pada makna aslinya, akan tetapi suatu istilah yang ingin memperlihatkan secara nyata mana aturan yang bersumber dari ajaran Islam dan mana pula yang tidak bersumber dari ajaran Islam, yang dalam hal ini dari pemikiran manusia belaka. Walaupun sebenarnya dalam aplikasi yang bernuansa syari'ah itu banyak mengadopsi pemikiran manusia (ulama/fukaha), terutama yang menyangkut mu'amalah. Hal ini terlihat dari kemunculan istilah ekonomi syari'ah, bank syari'ah, asuransi syari'ah dan lain-lain sebagainya.
            Jadi, istilah syari'ah walaupun diambil dari bahasa Arab, tapi tidak mengadopsi ma'na aslinya. Oleh karena itu perlu dipertegas secara operasional makna ini, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memaknai dan menggunakannya.

C.     Peta Kontroversial
            Ada yang mengelompokkan kontroversi terhadap Perda Syari'ah ini pada tiga kelompok. Pertama, yang mendukung; kedua, yang menolak dan ketiga, yang tidak memiliki sikap apakah mendukung atau menolak. Yang terakhir ini tidak akan dikomentari, karena tidak mempengaruhi arus pemikiran yang berkembang. Dalam pandangan lain ada yang mengelompokkan kontroversi ini antara kalangan agamis dan kalangan nasionalis. Kalangan agamis untuk yang mendukung dan nasionalis untuk yang menolak. Kalangan agamis ada yang berbasis santri ada yang non santri tetapi memmiliki kepedulian yang tinggi terhadap Islam.
Kelompok yang mendukung beralasan bahwa persoalan kemasyarakatan yang berkembang akhir-akhir ini hanya bias di atasi dengan menerapkan ajaran Islam secara baik dan holistik. Pandangan semacam ini tidak lagi merupakan wacana akan tetapi sudah berada di tingkat praksis. Hal ini dapat dilihat dalam penerapan busana muslim bagi siswa dari SD sampai SMA di Kabupaten Agam Sumatera Barat, Perda Anti Maksiat seperti penerapan jam malam bagi perempuan di Depok dan Tangerang, Penerapan wajib pandai baca tulis Alqur'an bagi calon mempelai di Bulukumba Sulawesi Selatan dan daerah-daerah lainnya.[2]
            Keinginan dalam menerapkan ajaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi kelompok yang mendukung diperkuat dengan beberapa alasan historis yang sudah muncul sejak lama. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah:
Pertama, pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dilakukan menjelang kemerdekaan Indonesia, selalu dibumbui perdebatan alot antara kaum nasionalis dengan wakil Islam tentang ketentuan memasukkan tambahan tujuh kata di sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya sebagaimana tercantum di Jakarta Chapter atau lebih di kenal dengan Piagam Jakarta.
Kedua, pada sidang konstituante. Dalam torehan sejarah yang terjadi pascapemilu tahun 1955 itu, terjadi tarik-menarik antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam. Tema perdebatan juga sama yakni pro dan kontra seputar keinginan menjadikan syari’at Islam diterapkan sebagai bagian dari hukum Indonesia. Tetapi karena beberapakali deadlock, dan tidak jadinya rumusan negara membuat Sukarno mengambil alih konstituante sehingga lahir Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Maka, perjuangan umat Islam itupun kandas lagi.
Ketiga, seiring lamanya kendali Orde Baru yang menabukan aspirasi, nuansa untuk menerapkan syari’at pun surut, meski tidak pernah pudar di otak para umat Islam. Berubahnya zaman, dan adanya reformasi, membuat keinginan untuk mengamandeman undang-undang dasar dan memasukkan tujuh kata itu pun muncul lagi. Ditengah sidang-sidang amandemen UUD 1945 beberapa waktu lalu, beberapa kelompok Islam mencoba menghembuskan Piagam Jakarta.[3]
Kelompok yang mendukung ini ada dua, yaitu : mendukung secara simbolistis dan mendukung secara substansialis. Pendukung Perda Syari'ah simbolistis ingin aturan ini lebih kongkrit dan tegas memakai simbol syari'ah atau Islam, termasuk pemberian nama peraturan ini dengan Perda Syari'ah. Setidaknya inilah yang diperlihatkan oleh Komite Persiapan Penegakan Syari'at Islam (KPSI) di Sumatera Barat.
Pandangan yang substansialis maksudnya adalah yang ingin melihat nilai-nilai syari'ah terdapat dalam berbagai peraturan dan perundang-undangan di Indonesia, walaupun tidak menyebutkan symbol atau label syari'ah. KH. Ma'ruf Amin dari MUI nampaknya lebih cendrung berpandangan substansialis ini. Beliau mengatakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa hingga kini di Indonesia tidak pernah ada peraturan daerah (perda) syariah, seperti yang ditakuti beberapa pihak yang tidak mengerti tentang apa itu syariah. "Yang ada adalah peraturan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai syariah, dan itu untuk kebaikan masyarakat, dan telah disetujui oleh banyak partai yang menjadi wakil rakyat," ujarnya dalam pernyataan bersama MUI-Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Menurut dia, setelah diterbitkannya peraturan-peraturan yang disebut sebagai perda anti-maksiat itu, angka kriminalitas di beberapa daerah cenderung menurun. Ma`ruf menyatakan, tidak ada pertentangan di antara perda-perda yang menjadi polemik di berbagai media massa tersebut dengan peraturan di atasnya, apalagi dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. "Saya justru melihat adanya upaya membenturkan, bahkan menjauhkan Pancasila dengan nilai-nilai agama, seperti terlihat dari adanya penolakan, keberatan dan protes tentang Perda yang di dalamnya terkandung nilai anti-maksiat,"[4]. Menurut hemat saya sikap MUI yang direpsentasikan oleh KH. Ma'ruf Amin ini sangat diplomatis, terutama dalam menjaga atau meminimalisir kontroversial masalah Perda Syari'ah di Indonesia sekarang ini.
Kelompok yang menolak seperti dipertunjukkan oleh 56 orang anggota DPR RI, dimana mereka mengirim surat kepada Ketua DPR untuk segera menyurati Presiden menanggapi Perda Syari'ah ini.[5]
Ada juga yang mengkritisi pemberlakuan Perda syari'at ini akan semakin mempersempit ruang gerak kaum perempuan yang selama ini sudah mulai terbuka. Pendapat ini merujuk pada pengalaman sejarah yang mengungkap dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan. Mereka merujuk padangan Amina Wadud Muhsin yang menyatakan, dalam teori sosial politik konvensional, perempuan tetap menjadi warga kelas kedua karena mereka tidak memiliki hak untuk menentukan nasib diri sendiri.  Menurut Amina, syari'at telah membuat satu situasi di mana muslim laki-laki selalu berusaha untuk mendominasi perempuan dan mereka menikmati monopoli kekuatan politik tersebut.[6]

D.    Akar Kontroversial
            Kontroversial dalam menanggapi Perda Syari'ah bukanlah suatu sikap yang muncul belakangan ini secara tiba-tiba, akan tetapi sudah memiliki akar kebelakang. Ada beberapa fenomena yang dapat dilihat untuk menelusuri akar kontroversial ini. Uraian berikut ini akan mencoba melihat akar kontroversial tersebut:

1.      Perbedaan Pandangan dalam Melihat Islam
Perbedaan padangan dalam melihat Islam berimplikasi terhadap penerimaan atas keberadaan Perda syari'ah. Ada yang memandang Islam sebagai sistem kehidupan dan ada pula yang melihat semata-mata sebagai agama, sama dengan agama-agama lain, baik agama samawi maupun agama kebudayaan.
Bagi yang memandang Islam merupakan sistem kehidupan bependapat bahwa hidup ini diatur oleh satu-satunya sumber yaitu ajaran Islam (Alqur'an dan Sunnah), karena ajarannya bersifat komprehensif, universal dan terintegrasi dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Pandangan ini kemudian memperkuat alasannya dengan:
a.       QS  3:19; Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
b.      QS 2:208; Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
c.       QS 3:85; Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
Dalam pandangan ini Perda Syari'ah merupakan bagian dari upaya merealisasikan Islam dalam kehidupan kehidupan duniawi. Dalam kajian politik Islam hal ini disebut dengan siyasah syar'iyyah, yaitu upaya menjalankan atau menegakkan  ajaran Islam dalam tatanan kehidupan bernegara.
Kelompok yang melihat Islam secara komprehensif ini, pada satu sisi terbelah pula menjadi dua aliran, yaitu: tekstualis dan kontekstualis. Aliran tekstualis ingin menerapkan Islam seperti apa adanya dalam teks-teks syari'ah tanpa banyak melibatkan pemikiran. Sedangkan aliran kontekstualis tidak terpaku pada teks-teks syari'ah secara kaku, tapi mencoba memahami historis dan konteks dimana teks itu diturunkan. Peran pemikiran dalam hal ini tidak dapat dihindarkan. Sehingga lewat pemikiran ini terjadi perubahan hukum seiring dengan perubahan masyarakat.
Pada sisi lain kelompok yang melihat Islam secara komprehensif terbelah pula menjadi aliran simbolistis/formalistis dan substasialis. Aliran simbolistis atau formalistis menginginkan Perda Syari'ah diimplementasikan dengan nama yang kental bernuansa Islama, sebagaimana nama yang telah populer sekarang. Nama ini pulalah yang membedakan antara peraturan yang semata-mata buatan manusia dengan peraturan yang bersumber dari wahyu. Bila perlu seluruh peraturan yang ada di Negara ini disetting dengan nama syari'ah.
Bagi aliran substansialis persoalan nama tidak begitu penting. Yang diperlukan adalah bagaimana aturan hukum Islam itu memasuki berbagai wilayah kehidupan tanpa menyebutnya sebagai hukum Islam/syari'ah atau nama lain yang seirama dengan itu.
Lebih dari itu, aliran substansialis ada yang berani berspekulasi dengan penafsiran yang lebih bebas dan terbuka tanpa terikat pada penafsiran hukum Islam zaman lampau. Mereka beorientasi ke depan, bukan setback ke zaman klasik atau zaman lain sebelumnya. Kritik tidak hanya ditujukan pada penafsiran, tetapi juga pada teks-teks wahyu dan Hadis Nabi melalui metode heurmanetika, sebagaimana yang dilakukan terhadap injil oleh intelektual agama kristiani.
            Bagi yang memandang Islam sebagai agama semata, Islam hanya mengatur persoalan ritual dan spiritual. Dalam pandangan ini Islam sama dengan agama-agama lain, baik agama samawi maupun agama kebudayaan, yang hanya dapat dilihat pada wilayah kepercayaan (trush), peribadatan (ritual), kerohanian (spiritual), upacara-upacara keagamaan (seremonial). Pandangan ini lebih menekankan agama dari sudut pandang sosiologis. Sehingga ajaran Islam tidak dapat mengintervensi urusan Negara dan kekuasaan. Pandangan inilah yang kemudian disebut sekuler, yaitu memisahkan antara agama dan Negara. Di Indonesia, walaupun ada yang mencoba bersikap sekuler, namun kelompok ini tidak begitu berpengaruh, karena Negara bukan Negara sekuler. Akan tetapi di Eropa sebelum reformasi, gereja mempunyai hak  membentuk untuk undang-undang, di samping itu Negara juga mempunyai hak yang sama, sehingga tedapat dua macam pemerintahan, yaitu pemerintahan duniawi dan pemerintahan rohani. Namun setelah reformasi keadaan tersebut berubah. Pemerintahan rohani lenyap, sehingga yang berhak membentuk hukum hanyalah Negara atau kekuasaan duniawi.[7] Politik inilah yang kemudian melahirkan sekularisasi hukum.
2.      Problem Sumber Hukum
Dalam literatur ilmu hukum yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprodensi, pendapat ahli dan doktrin. Konsekuensi dari teori ini menjadikan bahan-bahan lain tidak dapat dijadikan sumber hukum, termasuk sumber-sumber ajaran agama dan dan atau pendapat ahli hukum agama yang di dalam Islam  disebut ijtihad ulama atau fukaha. Walaupun salah satu sumber hukum itu pendapat ahli, akan tetapi yang dimaksud di sini adalah ahli hukum sekuler atau ahli hukum Barat. Oleh karenanya ketika berbicara hukum dalam konteks kehidupan bermasyarakat, hukum agama selalu terabaikan bilamana berhadapan dengan hukum Negara. Dan ketika hendak memproduk hukum dalam lembaga legislasi literatur-literatur keagamaan hampir tidak pernah dirujuk. Seakan-akan literatur ini tidak dapat dijadikan bahan pertimbangan pembuat hukum. Kalau pun literatur ini diajukan terkesan hendak melakukan intervensi agama terhadap Negara. Di sinilah sebabnya kenapa tidak diterimanya Perda Syari'ah oleh sebagian kalangan. Perda Syari'ah bersumber dari ajaran agama atau pendapat ahli agama, sedangkan hukum tidak mengenal sumber tersebut.
            Sebenarnya upaya untuk mencairkan konflik antara agama dan hukum ini telah dilakukan oleh beberapa ahli hukum di Indonesia seperti Hazairin, Daud Ali[8] dan beberapa ahli hukum lainnya yang berwawasan keagamaan, namun belum banyak pengaruh terhadap konsep hukum yang hampir dikatakan telah mapan di Indonesia.
3.      Studi Hukum Islam yang Bersifat Teoritis
Di berbagai lembaga pendidikan agama di Indonesia studi hukum Islam boleh dikatakan bersifat teoritis. Hukum Islam yang dipelajari tidak banyak ditemukan dalam realita kehidupan, kecuali yang menyangkut hukum-hukum ibadah secara khusus seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Akan tetapi dalam bidang mu'amalah sulit ditemukan realita hukum Islam seperti bidang kewarisan, ekonomi, politik, pidana, dan lain-lain sebagainya. Sehingga studi hukum Islam cendrung hanya untuk memenuhi keperluan ujian peserta didik, baik di kalangan siswa maupun mahasiswa.
Sebenarnya sudah ada beberapa peraturan yang berhubungan dengan hukum Islam seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pengelolaan Zakat dan UU Wakaf, namun masih bersifat parsial, berkisar pada sebagian masalah keperdataan yang ruang lingkupnya pun sangat terbatas. Di samping itu bila diikuti perdebatan seputar kelahiran undang-undang ini dapat pula memberikan kontribusi untuk mempertajam kotroverisial kelahiran Perda Syari'ah, karena perjuangan untuk meloloskan UU tersebut sangat alot.
Dampak langsung dari studi hukum Islam yang bersifat teoritis ini terhadap kontroversi Perda Syari'ah adalah seakan teori atau konsep hukum Islam bukan untuk kontribusi hukum positif. Ditambah lagi studi hukum Islam tidak diiringi dengan studi penerapan hukum (taqnin). Studi hukum Islam berhenti pada tataran syari'ah dan fiqh, tidak melangkah selangkah lagi ke qanun (Undang-undang).
4.      Kontroversi Kelompok Agamis dan Nasionalis
            Kontroversi antara kelompok agamis dan nasionalis sudah berlangsung sejak lama, mulai sejak merumuskan dasar Negara. Kelompok agama diwakili oleh mereka yang berlatar belakang pendidikan santri, baik dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi atau hanya pada jenjang pendidikan tertentu. Sedangkan kalangan nasionalis diwakili oleh meraka yang berlatar belakang pendidikan Barat atau pendidikan umum. Walaupun akhir-akhir ini dinding pembatas yang berpedidikan santri dan pendidikan umum sudah ada yang mencair, akan tetapi pandangan kelompok agamis dan nasionalis tetap saja masih kental di kalangan para pengamat. Bahkan di kalangan praktisi politik pun hal ini sangat kelihatan. Kalangan agama mendirikan partai-partai politik yang berlabel agama sedangkan kalangan nasionalis menanggalkan label-label kegamaan dari partai mereka.
            Sebagaimana telah disinggung di atas, kelompok agamis dan nasionalis berbeda dalam melihat keberadaan Perda Syari'ah. Kalangan nasionalis tidak menginginkan adanya simbol-simbol keagamaan, sedangkan kalangan agamis tidak bisa melepaskan agama dari kehidupan mereka, apakah secara simbolis atau secara substansialis.
5. Kontroversi Muslim dan non Muslim
            Di Indonesia walaupun kalangan non muslim secara kuantitas jauh lebih kecil dibanding kalangan muslim, namun dalam mengemukakan pandangan dan komentar serta pengambilan kebijakan atau keputusan cukup berpengaruh, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Sehingga tidak jarang terjadi perdebatan yang sangat alot dalam melahir suatu produk hukum, bila rancangannya bermuatan keagamaan.
            Di samping itu isu-isu pemurtadan pemeluk agama juga semakin santer, sehingga masing-masing agama mengkhawatirkan akan adanya intervensi agama ke dalam pemerintahan, karena hal ini dapat dirasakan tidak adil bagi kalangan minoritas.
            Dalam menyikapi Perda Syari'ah, kalangan muslim dan non muslim akan sulit dipertemukan duduk satu meja untuk menyatukan pendapat. Sehingga yang muncul adalah kecurigaan dominasi salah satu agama dalam Negara.
E. Kesimpulan
Menurut hemat penulis sulit untuk mengakhiri perbedaan dan perdebatan seputar keberadaan Perda Syari'ah di Indonesia, karena perbedaan tersebut terletak pada akar permasalahan sebagaimana dijelaskan di atas yang hingga hari ini belum bisa dan mungkin tidak bisa dieliminir. Oleh karenanya solusi hanya dapat dilakukan pada tingkat politik atau kekuasaan serta dukungan mayoritas masyarakat melalui demokrasi. Melalui cara ini keputusan dapat diambil secara demokratis yang mana kelompok yang tidak setuju harus legowo dalam menerima kenyataan atau keputusan yang diambil.
Semoga tulisan yang sederhana ini bermanfaat, wallahu a'lam bishshawab.

No comments:

Post a Comment

Jadilah anda yang pertama

Berita Terbaru