Wednesday, June 18, 2008

Jika Hidup Kenyang Hinaan

Setidaknya dalam lima tahun terakhir terjadi dua penembakan brutal di Amerika dengan pelaku yang nyaris sama; sama-sama pemuda imigran yang hidupnya kenyang dihina. Mari kita bayangkan keadaan terhina itu. Ya begitulah rasanya. Meriangnya sampai ke jiwa. Jika melihat sang penghina rasanya ia hendak kita lumat hingga selumat-lumatnya. Cara paling sehat untuk membuang perasaan terhina ini adalah dengan cara menyalurkan dengan segera. Sayang cara ini tidak mudah karena berbagai keterbatasan.

Pertama adalah keterbatasan hukum. Melumat begitu saja para penghina, jatuhnya cuma akan melanggar hukum. Padahal tak setiap dari kita kuat dan berani melanggar hukum. Kedua adalah keterbatasan kita sendiri. Contoh kedua ini diililustrasikan dengan baik oleh maestro lawak Jawa kegemaran saya: Junaedi disalah satu kasetnya. Saat itu ia bercerita tentang istrinya yang digoda lelaki iseng di jalanan. Sebagai suami terhormat ia marah luar biasa dan bersiap melabrak sang penggoda. Untung kemarahan itu tidak mengganggu akal sehatnya. Sebelum main labrak ia bertanya lebih dulu keadaan sang penggoda itu. ‘'Tinggi besar,'' jawab sang istri. Junaedi surut setindak dan gantinya cukup memberi nasihat bijak: ‘'Ya sudah, besok jangan lewat jalan itu lagi,'' katanya. 
Psikologi seperti Junaedi itulah yang kadang-kadang kita derita. Tak mudah menyalurkan perasaan terhina karena banyak sekali batasannya. Jika cuma batasan hukum, kita mudah menerimanya karena ia menghuni keadaan banyak orang. Tetapi jika keterbatasan itu berpusat pada diri sendiri ia akan menjelma jadi depresi. Dua pelaku penambakan brutal di Amerika itu adakah anak-anak muda pemberani? Tidak. Mereka butuh menabung keberaniannya bertahun-tahun. Itulah tabungan yang setorannya adalah akumulasi hinaan yang berlangsung setiap hari. Jika anak-anak ini bicara, cuma disambut gelak tawa sekitarnya karena bahasa inggris mereka yang dianggap aneh. Ketika bicara cuma menjadi tertawaan, diam adalah sebuah pilihan. Diam sepanjang hayat sambil memendam kemarahan itulah yang memupuk nyali untuk membunuh. Dan nyali itu tak bisa begitu saja disetarakan dengan keberanian karena setelah penembakan itu, mereka mengerti kalkulasinya. Mereka memilih bunuh diri ketimbang menghadapi kenyataan.


Prie GS - 
http://www.andrewho-uol.com/articles.html 

No comments:

Post a Comment

Jadilah anda yang pertama

Berita Terbaru