Salah satu bentuk motivasi yang sangat perlu dibangun pada anak adalah keinginan untuk belajar. Secara alamiah, sebenarnya potensi ini sudah ada sejak anak masih kecil. Hal ini dapat dilihat dari sebagian besar bayi yang berusia di bawah dua tahun yang menunjukkan tanda-tanda mau belajar, seperti belajar makan sendiri, bermain bola, belajar berjalan, dan lainnya. Namun ketika telah masuk sekolah, orientasi belajar akan berubah ke pelajaran sekolah. Orangtua pun banyak yang menginginkan anaknya menjadi yang terbaik di kelasnya.
Di sinilah sering kali terjadi masalah, sebab terkadang orangtua salah memberikan motivasi belajar pada anaknya. Alhasil, anak menjadi sulit berprestasi bahkan menganggap belajar adalah hal yang menakutkan. Menurut Daniel Go, praktisi di bidang terapi, teknologi pikiran, dan parenting, banyak orangtua tanpa sadar sebenarnya telah mematikan semangat dan motivasi belajar anaknya. Hal yang paling sering dilakukan adalah seperti melarang, memarahi, menakut-nakuti, menghukum berlebihan, atau memberi respons yang sangat minimal terhadap aktivitas anaknya.
“Ketika anak-anak mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan seperti sering dimarahi oleh orangtua atau guru karena mendapat nilai jelek pada pelajaran tertentu, maka minatnya untuk belajar akan turun. Kemudian mata pelajaran itu akan dianggap sebagai hal yang menakutkan untuk dipelajari,” paparnya dalam seminar Rahasia Orangtua Efektif Memotivasi Anak Meraih Prestasi di RS Panti Waluyo beberapa waktu lalu. Akibat cara mendidik yang salah inilah motivasi anak untuk belajar dan berprestasi akan hilang.
Daniel menerangkan, sebenarnya tidak sulit bagi orangtua dalam memberikan motivasi belajar pada anak agar berprestasi. Hanya butuh penanaman dan pengertian pada mereka bahwa belajar adalah untuk sebuah alasan atau tujuan.
“Masalahnya, alasan atau tujuan yang akan orangtua sampaikan juga harus benar. Karena jika salah arah maka motivasi belajar tidak akan bertahan lama sehingga cepat luntur,” katanya, yang juga penulis buku ini. Namun pada praktiknya memang banyak orangtua yang terlalu menuntut banyak pada anaknya sehingga malah membebani.
Daniel melanjutkan, berdasarkan pengalaman dan hasil observasi di lapangan, banyak orangtua yang memaksa anaknya belajar agar mendapatkan nilai bagus saat menghadapi ulangan. Bahkan ada juga orangtua yang hanya ingin anaknya selalu mendapat nilai sempurna 10 sehingga meski pulang membawa nilai 9, anak langsung dimarahi.
“Mengapa bisa terjadi demikian. Karena saat masih kecil, anak sangat membutuhkan rasa aman. Dan hal ini hanya akan timbul jika anak mendapatkan cinta kasih yang tulus dan tanpa pamrih dari orangtuanya,” paparnya. Kasus yang banyak terjadi di masyarakat menurutnya, adalah anak yang mengalami kesulitan berhitung, kemudian orangtua acap kali mengomel ketika menemani belajar.
Jadi Terkikis
Akibat perlakuan yang memaksa tersebut, perlahan tapi pasti motivasi yang sudah ada akan mulai terkikis. Selain itu, anak akan kehilangan rasa aman karena merasa tidak mungkin dapat menyenangkan hati orangtuanya jika tidak mendapat nilai bagus di sekolah. Saat rasa aman hilang, dorongan untuk berprestasi pun mulai mendapat tekanan berat. Akhirnya, saat tingkatan kelas semakin tinggi dan pelajaran menjadi lebih berat dan sulit, anak sudah kehilangan gairah belajar.
“Sekitar 80 persen anak yang mengalami masalah kesulitan belajar adalah karena faktor stres. Stres ini bisa berasal dari orangtua di rumah maupun dari guru saat di kelas,” ungkap Daniel. Stres ini akan sangat berdampak buruk pada pertumbuhan anak ketika dewasa terutama terkait prestasi belajarnya.
Bila anak telah menunjukkan tanda-tanda membandel seperti susah diatur, kurang terbuka pada orangtua, menanggapi sesuatu dengan negatif, atau menarik diri dari lingkungan, maka sebaiknya orangtua harus benar-benar waspada. Sebab hal itu bisa jadi merupakan imbas dari pola asuh yang salah yang diterapkan selama ini terutama pengaruh lingkungan sekitar.
Maka ketika tanda-tanda bahaya tadi sudah muncul, disarankan hal yang pertama harus diperbaiki adalah lingkungannya seperti ayah, ibu, nenek, kakak, atau anggota keluarga lainnya. “Perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut untuk mengetahui sumber masalah yang menyebabkan anak menjadi memiliki sifat-sifat tadi. Dan biasanya berasal dari orang-orang terdekat,” katanya.
Dalam mendidik anak dan memberikan motivasi, prinsip yang harus dipahami orangtua adalah harus mengerti anak. Untuk memulainya, lanjut Daniel, ada tiga hal yang harus dipahami. Ketiga hal ini membentuk segitiga yang saling berkaitan dan tidak dapat dilepaskan. Yaitu motivasi, kebutuhan emosi dasar, dan prestasi tinggi. Anak tidak akan mempunyai prestasi yang tinggi atau nilai yang bagus tanpa ada motivasi. Motivasi yang diberikan pun harus membuat anak menjadi merasa aman, sebab hal ini merupakan salah satu kebutuhan emosi dasar selain dicintai dan diperhatikan. Maka ketika motivasi, kebutuhan emosi dasar telah terpenuhi, maka otomatis anak akan dapat berprestasi.
(Ikrob Didik Irawan)
No comments:
Post a Comment
Jadilah anda yang pertama