Monday, May 23, 2011

Debat Hadi Supeno (cawabup) dengan Rahmat Petuguran (aktivis muda)

Banyak puisi bertebaran di Banjarnegara. Wajah-wajah menghiasi jalanan kota. Tandanya, perang membumbungkan optimisme akan dimulai. Calon bupati-wakil bupati coba menjanjikan bahwa dirinya layak memimpin Banjarnegara. Karena itu, saya tergelitik untuk mengungkapnya. Berikut perbincangan saya dengan salah seorang calon Bupati berinisal HS yang yang saya lakukan melalui Facebook. Semoga bisa menjadi pertimbangan Anda memilih.

Rahmat Petuguran:
Wah, sudah menjelang Pilkada nih Pak. Pantas, banyak kata berbunga-bunga. Tapi agaknya, kata hanya punya arti leksikal karena tidak ada konteksnya. Jujur, saya pesimis dengan proses demokrasi yang akan berlangsung sebentar lagi ini. Demokrasi yang dicederai uang, itikad buruk, juga menjadikan kekuasaan sebagai orientasi utama tidak akan melahirkan pemimpin yang bisa menyejahterakan masyarakatnya. Hmmm...

HS:

Mas Rahmat, demokrasi tidak boleh dicederai, kita punya kewajiban bersama menjaga tatanan demokrasi itu, sekecil apapun perannya. mari kita buktikan bahwa bisa berdemokrasi secara sehat, tidak sekedar mencari kekuasaan semata. Karena kekuasaan itu kan alat untuk kemaslahatan bukan untuk menindas apalagi memperburuk nasib rakyat. Bismillah...:)

Rahmat Petuguran:
Hahahahaha. Nuwun sewu, Bapak kok pura-pura naif. Hampir bisa diprediksi; Pilkada (termasuk di tempat kita nanti) hanya kan menjadi transaksi. Elit butuh suara, rakyat butuh uang. Kalau diperluas, elit perlu modal politik, pengusaha perlu regulasi yang menguntungkan. Apa yang masih bisa diharapkan dari proses semacam ini Pak? Tinggal kalkulasi untung-rugi. Maaf lho kalau saya kurang sopan. Tapi saya senang kalau Bapak kersa adu argumen.

HS:

Oh, mboten naif mas. saya ini pemain politik dan pernah berpengalaman dalam proses politik. Transaksi politik tak bisa dihindarkan. Dulu tahun 2006, banyak orang tidak percaya kepada saya memakai kendaraan politik PDI-P hampir zero rupiah. Tanpa membayar ratusan juta atau bahkan milyaran rupiah. Kenapa bisa, karena saya bertransaksi yang mampu menaikan harga, sehingga bisa bernegosiasi dengan parpol. Untungnya, ada beberapa teman parpol yang masih bisa diajak diskusi dan berpikir sehat, tidak sekedar transaksi materi. Cost politik juga tak terhindarkan, pasti dibutuhkan tapi tidak dengan menggadaikan diri. Banyak cara yang lebih baik, halus dan tidak merugikan rakyat. Kita gak boleh mundur dan menghancurkan demokrasi yang sudah dipilih pasca reformasi ini. Mari berdebat teman...:)

Rahmat Petuguran:

Saya salah satu orang yang tidak percaya itu Pak. Dari mana sumber dana Bapak untuk kampanye saat itu? Cetak poster, reklame, operasional tim sukses, buat kaos, honor Inul Daratista, atau setidak-tidaknya honor saksi di setiap TPS? Kalaupun Bapak tidak keluarkan milik pribadi, Bapak disponsori pengusaha., justru cost politik seperti itu lebih mahal, karena kebijakan yang akan dipertaruhkan. Nanti proyek yang akan jadi mainan. Tapi itu biarlah jadi urusan belakang panggung Bapak, toh Gusti Allah ora sare.

Karena itu, mohon maaf, tidak satupun calon bupati-wakil bupati Banjarnegara yang patut diharapkan. Terlebih jika mereka kita hadapkan pada tantangan besar; wilayah luas, penduduk miskin, pendidikan rendah, infrastruktur rusak, investasi rendah, sementara PAD kecil. Semua itu tidak akan bisa diselesaikan dengan ribuan bait puisi sekalipun.

HS:

Ya, banyak yang tidak percaya, gak aneh buat saya mas. Saya tahu banyak orang yang dulu membantu saya dan membiayai cetak baliho dan lain-lain, dan saya lihat-nilai motivasinya. Mau percaya atau tidak, tak satupun yang berkompromi dengan "proyek" jika kelak jadi bupati, di depan banyak teman saya sampaikan bahwa saya tidak mau bertaruh nama baik dan akhirnya di ciduk KPK jika saya memainkan uang rakyat.

Sebagian besar adalah teman-teman semasa pergerakan mahasiswa dulu, saya tahu persis mereka membantu dengan motivasi sebagai sahabat yang tidak berpretensi apapun. Kami terbiasa saling mensuport sesama jaringan, termasuk dalam politik.

Mbak Inul di bawa oleh sahabat baik saya di Jakarta yang berprofesi dibidang entertainment, dan seperakpun kami tidak keluar uang itu, bahkan, detik-detik akhir menjelang pilkada kami hanya memiliki uang untuk membayar saksi (bantuan salah satu bupati di Jawa sahabat saya).

Saya tahu, menjelang pemilihan ada yang membagi-bagi uang kepada pemilih, dan saya ditawari untuk melakukan hal yang sama. Saya jawab bahwa saya tidak mau melakukan cara-cara tidak beradab untuk memang. Kalah tidak masalah, karena kemenangan ada disini (sambil menunjuk dada). Saya sampaikan waktu itu.
kekayaan saya di akhir jabatan hanya bertambah 150 juta. waktu itu, teman-teman LSM di Banjarnegara pernah menyampaikan ketidakpercayaannya, saya bilang silahkan cek. Dan dengan keras saya sampaikan, mestinya teman-teman LSM bertanya kepada saya jika saya punya uang lebih dari 1 M, itu uang dari mana !??

Banyak kok, contoh bupati yang "sehat" dan berorientasi kemaslahatan masyarakat. solok-sumbar, jembrana-bali, kota solo, kota jogja, dan jember, serta saya kira masih banyak orang waras lain yang menjangkau kekuasaan bukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya.

Sayang kalau anak muda seperti anda, tidak punya harapan untuk menjadikan negeri ini menjadi lebih baik. sekarang atau tidak sama sekali. begitu mas

Rahmat Petuguran:

Sikap saya ini, bisa jadi, kekecewaan yang terakumulasi Pak, sehingga nyaris mengkristal menjadi keputusasaan. Tidak ada yang bisa diharapkan dari mekanisme politik yang dilakoni politisi pragmatis. Karena itu, saya tidak berharap banyak dari pemerintah. Kalaupun saya ingin melakukan sesuatu untuk masyarakat sebagai keniscayaan untuk migunani tumraping liyan, saya memilih jalur lain.

Soal dana kampanye, menarik juga tuh Pak. Sesekali boleh juga kalau dipublish pembukuan dana kampanye Bapak 2006 lalu. Siapa dan perusahaan mana (by name), supaya bisa kami analisis interest yang melatarbelakangi mereka. Bapak kan paham betul, political coruption justru lebih membahayakan kalau sampai terjadi.

Kita jangan bicara soal Pak Jokowi, Hery Zudianto, I Gede Winasa, atau Pak Suyanto dulu lah. Nuwun sewu, mereka bukan orang yang hijrah ke ibukota setelah kalah Pilkada, dan pulang kampung menjelang Pilkada kembali digelar. Mereka menjadikan daerahnya tempat bermukim, kampung halaman dalam arti yang sesungguhnya.

HS:
senang saya diskusi dengan anda, saya sudah mempublish lewat buku "korupsi di daerah; pengalaman dan kesaksian" soal itu.

oh saya masih melakukan "sesuatu" untuk banjarnegara, kendati tidak perlu dipublish setelah pilkada. hampir setiap 2 bulan saya di kampung dan bersama sahabat melakukan kegiatan, baik pendidikan, maupun kegiatan pemberdayaan. niat saya hanya melakukan sesuatu yang bermanfaat, tanpa pretensi apapun, sehingga ya lakukan saja.

tentang kepulangan saya pada ranah "politik" ceritanya panjang mas, saya sesungguhnya tidak ada niat untuk kembali. apalagi yang saya mau cari, segala mimpi saya sudah terpenuhi (alhamdulillah), banyak pekerjaan yang bisa saya lakukan (setidaknya kembali sebagai penulis). sungguh, berkali-kali saya di hubungi mantan pendukung dan partai politik untuk kembali, bahkan hingga bulan Nopember 2010 lalu saya menyatakan belum tertarik. salah seorang calon bahkan menawari saya uang dan tinggal duduk manis untuk mendampinginya.

situasinya berubah, ketika saya digeruduk oleh beberapa tokoh masyakat (maaf saya tidak bisa menyebutkannya) pada akhir tahun 2010 lalu dan meminta saya kembali. kami berdebat panjang lebar, buat apa? pertanyaan saya pada sahabat-sahabat itu. perubahan !! jawab mereka (saya persingkat).

saya menyatakan akan mempertimbangkan, jika ada data dan riset yang independen (saya orang ilmiah yang mengedepankan argumentasi logis). singkat cerita ada sebuah lembaga penelitian yang bekerja untuk melakukan riset. hasilnya, banyak pihak yang meminta saya kembali.

saya istikharoh karenanya.... dan 1 bulan kemudian (akhir januari) saya memutuskan, insyaalloh dengan berbagai catatan, misalnya ada pakta integritas yang harus ditandatangani pasangan. catatan lain, niatnya harus baik, dilakukan dengan cara baik, dan ikhlas.

begitu mas, mari berdiskusi.

Rahmat Petuguran:
Argumen Bapak meyakinkan. Tapi sayang, sebagai orang ilmiah, mengapa Bapak tidak bisa memberi tahu kelompok massa mana yang mendesak Bapak kembali mencalonkan diri. Justru itu penting agar bisa kami analisis motifnya (adakah konflik interest): LSM? Pengusaha? Ormas? Organisasi kepemudaan? Dan siapa tokohnya?

Terus terang, saya tidak mau ambil risiko dengan percaya begitu saja kepada politisi. Ini sikap yang menurut saya perlu saya (barangkali anggota masyarakat lain) ambil untuk menghindari kekecewaan politis berlebih. Bapak kan tahu, di tengah kondisi sosial-ekonomi seperti ini, ekspektasi publik sangat tinggi. Celakalah orang-orang miskin seperti kami kalau begitu saja percaya. Terlebih, Bapak kan bukan orang baru bagi kami. Menurut pengamatan saya, apa yang Bapak lakukan saat menjadi wabup tidak seistimewa puisi-puisi Bapak.

Coba deh, Bapak pernah memetakan persoalan apa yang dialami teman-teman kita di pinggiran Punggelan, Kalibening, Pagedongan, Panadanarum? Bapak punya data berapa warga yang masih tinggal di rumah papan berlantai tanah? Berapa warga yang terpaksa jadi buruh di Jakarta karena kampung halaman tidak menjanjikan pekerjaan yang layak? Berapa anak muda yang memilih tongkrong di perempatan karena bingung mau berkarya apa? Berapa anak muda yang terpaksa kerja karena orang tua tidak bisa kuliahkan mereka? Atau, berapa banyak warga kita yang terpaksa menjadi tukang glondong, kerja seharian untuk peroleh 15 ribu?

Saya khawatir, siapapun yang terpilih menjadi bupati, hanya akan menjadi pelaksana adminsitrasi negara tapi gagal memenuhi tugas pimpinan secara moral dan kultural. PAD kita setahun, bahkan kayaknya habis untuk membayar PNS dua bulan. Huft....

HS:

teman, boleh kok tidak percaya :) . cuma karena ini wilayah politik, saya harus menjaga privacy orang-orang yang meminta saya pulang. kasihan, mereka bukan tokoh politik yang terbiasa menghadapi isu dan dicerca pertanyaan macam-macam. sebagian besar bukan tokoh politik bahkan, mereka adalah para sahabat lama saya di banjarnegara. ada petani, guru, ormas, dan rohaniawan.

mas rahmat, saya punya analisis sosial tentang itu. harus saya akui, sumber persoalan yang dihadapi rakyat adalah kebijakan negara (termasuk pemerintah daerah). ada lebih dari 120 ribu warga banjarnegara dalam kategori miskin, bayangkan jika 1 keluarga berisi 4 orang, maka separoh dari penduduk banjarnegara tidak mampu mengasup kalori lebih dari 2100 kalori/hari (standar kemiskinan). saya ikut bertanggungjawab untuk itu. namun, karena kewenangan saya waktu itu hanya sebagai "wakil"/awak dan sikil, kebijakan yang bisa saya telorkan waktu itu hanyalah baru biaya pengurusan akte kelahiran gratis (saya akui banyak pungli dalam pengurusan akta kelahiran di banjarnegara, juga ktp).

saya punya rumusan membantu warga saya yang miskin, dalam soal pendidikan dan kesehatan, cukup 100 milyar/tahun. maka warga miskin dapat terbantu (belum terentaskan). sayangnya waktu itu gagasan saya ditolak, dan saya tidak punya kuasa lebih. saya juga pernah mengusulkan agar BKK dikuatkan manajemen dan kapasitasnya hingga mampu melakukan pendampingan dan pemberdayaan buat warga yang mau mengembangkan ekonomi, tapi 30% dana BKK harus diperuntukkan membantu modal bagi mereka yang membutuhkan. saya yakin, tingkat kemacetan kredit rakyat (belajar dari gramen bank) sangat kecil. lagi, gagasan ini juga mentok.

betul, PNS kita perlu ditata agar bisa bekerja dengan kualitas yang baik. pendaftaran PNS dikurangi, tapi memperkuat yang lama. setiap tahun sebenarnya lebih dari 50 orang pensiun. tapi perlu anda ketahui juga, ada aturan menpan yang mensyaratkan bagi daerah untuk menyediakan tenaga kerja, sehingga harus melakukan pengangkatan PNS. kendati sebenarnya bupati punya kewenangan untuk menolak, setidaknya pada sisi kuota biar tidak terlalu gemuk.

terimakasih mas, masukan anda brilian buat saya.

Rahmat Petuguran:

Angka 100 miliar per tahun adalah angka fantastis. Masyarakat bisa mblenger mendengar nominal itu. Tapi selama modelnya top-down, sampai di masyarat sering tinggal kabarnya saja. Terlebih, pejabat publik dari bupati hingga kepala desa tidak cukup aspiratif menangkap kemauan masyarakat, sehingga bantuannya kerap salah sasaran dan salah konsep.

Terus terang, ketika Bapak berencana mengucurkan bantuan Rp 100 juta kepada pemerintah desa per tahun melalui dana APBD (dalam kampanye Bapak tahun 2006), saya agak tertarik. Itu angka yang besar. Jika dikali 265 desa/kelurahan sudah 26,5 miliar. Tapi, selama penyaluran dilakukan birokrasi, akan banyak yang bocor.

Kalau tahun ini Bapak serius mencalonkan diri, coba deh Bapak tawarkan konsep empowering yang visibel sesuai karakteristik sosial-ekonomi-geografis masyarakat kita. Kalau perlu, buat pemetaan yang detail hingga ke tingkat desa. Sebab, sejauh yang saya pelajari dari kejauhan, konsep-konsep Bapak masih berujung pada jargon. Penuh metafora.

Terus terang, kami agak kecewa dengan pendekatan pembangunan yang dilakukan Pak Djasri selama ini. Selain belum terdistribusi secara proporsional (perbandingan kota dan desa) dari sisi anggaran, pendekatan masih top-down. Pemerintah seperti paling tahu kebutuhan dan kondisi masyarakat. Masyarakat masih menjadi objek karena tidak diberi ruang dalam proses planing dan budgeting. Sekali lagi, apa Bapak punya model pembangunan yang berbasis aspirasi masyarakat seperti Pak Jokowi atau pak Herry?

HS:
Mas Rahmat,
Saya sependapat, proses pembangunan yang tidak partisipatif atau mendengarkan masyarakat tidak berlangsung denga baik.Sebenarnya ada proses musrenbang, namun pada prakteknya didominasi elit juga baik di desa hingga kabupaten.

saya kenal baik denan pak jakowi, pak heri zudianto, kami banyak berdiskusi tentang pemberdayaan dan penguatan masyarakat, bersama dengan teman-teman NGO/LSM yang berpengalaman dalam soal itu.

boleh saja anda membaca konsep saya jargon (sesungguhnya saya belum mengeluarkan konsep, dari mana anda tahu dan baca konsep itu?). Karena konsep bisa sangat bagus, tapi komitmen pemimpin dan jajarannya juga sangat penting. Pak Jakowi bahkan menggunakan tangan besi untuk memaksa jajaran birokrasi mengikuti gagasan pembangunannya. Birokrasi harus efektif dan menjalankan gagasan yang pro-poor, tidak peduli para birokrat dibawahnya itu punya idealisme yang sama atau tidak (harap dipahami proses recruitment PNS masih bolong-bolong dan tidak sterril).

saya masih harus membangun kesepakatan dengan pasangan dan tim soal konsep pembangunan untuk pengentasan kemiskinan di Banjarnegara, diantaranya adalah ; 1) mempermudah perijinan usaha untuk investor dan atau bahkan memberikan subsidi proses perijinan (gratis) bagi warga yang hendak membuat badan usaha. pada sisi lain saya juga harus memikirkan dampak kerusakan lingkungan dan sosiologisnya, 2) pengalokasian dana desa digulirkan oleh desa kepada RT yang mengelola diikuti dengan aturan dan penegakan hukum agar ADD tidak diselewengkan, 3) pendidikan akan menjadi proritas saya, agar tidak ada lagi anak-anak di Banjarnegara yang tidak lulus SMP bahkan SMU. Karena lebih dari 10 ribu anak lulusan SMP di Banjarnegara tidak melanjutkan ke SMU setiap tahunnya. Bentuk programnya bisa macam-macam: subsidi biaya pendidikan secara terbatas buat keluarga sangat miskin, atau membuka sekolah satu atap dengan SMP (perlu dipikirkan agar tidak menambah beban APBD), atau cara lainnya.

Ada banyak gagasan di kepala saya, namun saya harus realistis juga. Riset akan saya lakukan untuk mendapatkan asumsi dan perhitungan yang matang, tentu disesuaikan dengan kemampuan angaran daerah melalui APBD. Jika kurang, jaringan yang saya miliki pada level nasional (kemendiknas, depag, sosial, kemendagri) akan saya dorong untuk membantu daerah.

Salam hangat,
HS

Rahmat Petuguran:

Konsep Bapak saya peroleh pada media kampanye yang Bapak publikasikan pada kampanye 2006 silam. Okelah, saya tunggu konsep Bapak dipublikasikan. Ini bahan pertimbangan penting untuk mengangguk atau justru menutup telinga rapat-rapat.


sumber : kopas http://rahmatpetuguran.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment

Jadilah anda yang pertama

Berita Terbaru