Oleh Ahmad SuaedyHadirnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) bernuansa agama sejak demokratisasi dan desentralisasi Indonesia paka Orde Baru telah membetot perhatian banyak kalangan. Sebagian besar mengkhawatirkan bahwa fenomena ini akan menjadi titik balik bagi demokratisasi, yaitu munculnya benih-benih diskriminasi dan pengabaian kesataraan semua warga negara di depan hukum dalam Indonesia yang menganut negara hukum, bahkan hendak mengubah Indonesia menjadi negara yang berdasarkan agama (Islam).
Kekhawatiran demikian sangat beralasan mengingat didirikannya negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945--dengan segala amandemennnya, justeru dimaksudkan sebagai dasar bagi negara demokrasi yang menjunjung tinggi kesamaan warga negara di depan hukum. Di beberapa daerah, praktik dari Perda dan aturan-aturan tersebut telah memberikan efek diskriminasi bagi pelayanan publik yang sangat nyata (Subair Umam dkk, 2007).
Namun bagi para pendukungnya, proses ini adalah bagian dari perjuangan mereka yang belum selesai bagi didirikannya Indonesia itu sendiri. Kegagalan di tingkat nasional untuk mengubah Indonesia menjadi negara agama (Islam) mendorong mereka untuk mengubah startegi dengan “desa mengepung kota”, yaitu memunculkan berbagai aturan yang bernuansa agama di derah-daerah untuk mengubah pondasi negara Indonesia menjadi negara berdasarkan agama Islam (Haedar Nasir, 2007).
Namun secara historis, fenomena masuknya berbagai unsur hukum agama (khususnya Islam) ke dalam sistem hukum nasional sesungguhnya telah terjadi sejak negara Indonesia itu sendiri berdiri. Pengamatan Ratno Lukito (2003), menunjukkan bahwa, meskipun pada dasarnya hukum adat dan hukum Islam memiliki kesempatan yang sama untuk mewarnai perkembangan hukum nasional tetapi hukum Islam selalu lebih memenangkan kompetisi dari persiangan keduanya. Dengan kata lain, dalam sejarah perkembangan hukum Indonesia, hukum Islam lebih mewarnai hukum nasional ketimbang hukum adat, seperti hukum perkawinan dan waris, dan bahkan hukum ekonomi seperti lahirnya Bank Muamalat dan UU Zakat di tahun 1990an (Robert Hefner, 2003).
Sebagai isu publik, ada kecenderungan bahwa penerapan Syariah Islam makin tidak populer. Ini diindikasikan bahwa beberapa kepala daerah seperti di Cianjur, Jawa Barat dan Bulukumba di Sulawesi Selatan, serta pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan itu sendiri, calon-calon yang mengusung penerapan Syariah Islam kalah dalam pemilihan langsung (pilkada). Tetapi penerapan itu justeru berjalan dengan cara semacam mainstreaming dan creeping. Departemen Agama dan Departemen Hukum dan HAM, misalnya, sedang menyiapkan setidaknya tiga RUU (Rancangan Undang-undangan) tentang apa yang disebut “Syari’ah Islam Terapan,” yaitu tentang Pernikahan, Kewarisan, dan Wakaf yang ketiganya problematik dari segi hubungan antar warganegara yang berbeda agama. Berbagai unsur Syari’ah juga muncul dalam beberapa rancangan undang-undang dan peraturan, baik di pusat maupun di daerah tanpa muncul di debat publik.
Para pendukung penerapan Syariah Islam tidak lagi menfokuskan pada perjuangan di ranah publik melainkan di ranah praktis strategis, maka yang sedang terjadi adalah perebutan berbagai jabatan strategis oleh para pendukung penerapan Syariah Islam. Partai-partai politik yang berbasis ideologi Islam pun seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) cenderung menyembunyikan agenda penerapan Syariah sebagai debat dan diskusi publik. Bahkan akhir-akhir ini PKS cenderung hendak merangkul sebanyak mungkin masyarakat pemilih dengan mengedepankan isu pluralisme dan kebhinekaan.
Tetapi dalam praktiknya, para eksponen partai-partai itu, baik di masyarakat maupun di birokrasi bekerja secara sistematis untuk memasukkan unsur-unsur Syari’ah Islam ke dalam hukum atau perundang-undangan dan berbagai peraturan pemerintah, baik secara undang-undangan dan aturan tersendiri maupun menjadi bagian dari perundang-undangan dan aturan secara umum.
Tiga partai yang disebut di atas adalah the inner ruling parties, di samping Partai Demokrat (PD) yang didirikan oleh SBY (Susilo Bambang Yudoyono), yang sedang berkuasa sekarang ini. Karena itu mereka memiliki kesempatan yang cukup besar untuk merencanakan dan melakukan mainstreaming agenda-agenda tersebut tanpa harus membawa isu-isu ke ranah dan debat publik. Kecenderungan pengabaian dan kelemahan pengetahuan tentang Islam oleh SBY dan PD, maka peran partai-partai itu cenderung menguat memanfaatkan status dan kedekatan dengan kekuasaan. Berbagai prediksi meningkatnya perolehan suara partai-partai tersebut, khususnya PKS, dengan sendirinya akan memperkuat arus mainstreaming dan creeping tersebut.
Secara kuantitatif, Robin Bush (2007) telah menghitung maraknya Perda yang bernuansa agama (khususnya Islam) akhir-akhir ini, , mislanya, berjumlah sekitar 78 Perda, di 52 Kabupaten dan Kota, tidak termasuk SK Bupati, Walikota dan Gubernur dan draf yang belum diputuskan oleh DPRD. Maka, jika pertumbuhan itu terus berlanjut, mau tidak mau memang mungkin akan memengaruhi arah perkembangan hukum nasional. Keputusan Mahkamah Agung yang menolak Judicial Review atas Perda Tangerang (Nurun Nisa dkk, 2007) tentang anti prostitusi yang diskriminatif terhadap perempuan dengan alasan bukan ruang lingkup MA, telah menimbulkan kehawatiran lebih besar tentang perkembangan tersebut.
Beberapa dimensi munculnya Perda-perda bernuansa agama
Tilikan yang cukup hati-hati akan sampai pada pemikiran bahwa, sesungguhnya tidak ada single factor dalam fenomena ini, melainkan harus dilihat dari beberapa sudut pandang dengan memilah-milah sejumlah faktor yang memengaruhinya. Bush, misalnya, menunjuk ada beberapa faktor tumbuh suburnya Perda-perda bernuansa agama tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah (a) faktor sejarah dan budaya lokal. Menurut Bush, tumbunya berbagai perda bernuansa agama (Islam) ada hubungannya dengan daerah-daerah yang memiliki sejarah dengan DI/TII.
Tilikan yang cukup hati-hati akan sampai pada pemikiran bahwa, sesungguhnya tidak ada single factor dalam fenomena ini, melainkan harus dilihat dari beberapa sudut pandang dengan memilah-milah sejumlah faktor yang memengaruhinya. Bush, misalnya, menunjuk ada beberapa faktor tumbuh suburnya Perda-perda bernuansa agama tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah (a) faktor sejarah dan budaya lokal. Menurut Bush, tumbunya berbagai perda bernuansa agama (Islam) ada hubungannya dengan daerah-daerah yang memiliki sejarah dengan DI/TII.
(b) Daerah-daerah yang memiliki potensi korupsi tinggi, sehingga bisa diprediksikan bahwa perda atau kebijakan tersebut sebagai bagian dari upaya menutupi korupsi yang dilakukan oleh para politisi, baik di eksekutif maupun legislatif. (c) Pengaruh lokal politik. Ini terjadi misalnya ketika seorang politisi ingin menyalonkan diri sebagai kepala daerah atau seorang incumbent hendak mencalonkan diri lagi menjadi calon kepala daerah periode berikutnya. Maka salah satu alat untuk menarik para pemilih adalah dengan cara menawarkan diterapkan perda-perda bernuansa agama.
(d) Kelemahan kalangan politisi tentang kemampuan untuk menyusun sebuah peraturan dan tiadanya visi untuk menyejahterakan masyarakat, sementara di lain pihak adanya kesempatan politik yang luas dan kekuasaan yang cukup untuk membuat berbagai peraturan. Tiadanya kemampuan untuk menggali isu-isu strategis untuk menyejahterakan rakyat dan lemahnya kemampuan untuk menyusun sebuah peraturan tentang pemerintah yang baik (good governance), lalu menjadikan referensi agama sebagai sesuatu yang penting untuk dijadikan aturan.
Sementara itu, menurut Arskal Salim yang dikutip dalam Bush, menunjukkan setidaknya ada tiga kategori perda bernuansa agama ini. a) Perda-perda yang berkaitan dengan isu keprihatinan publik (public order) atau pengaturan moral masyarakat seperti perda tentang anti perjudian, anti prostitusi dan anti minuman keras. Sesungguhnya isu demikian bukan hanya menjadi keprihatinan dan komitmen orang beragama tertentu melainkan hampir semua orang dengan motivasi masing-masing.
b) Aturan-aturan yang berkaitan dengan keterampilan beragama dan kewajiban ritual keagamaan. Aturan ini seperti aturan tentang kewajiban bisa baca Al-Qur’an, membayar zakat dan sebagainya. Aturan ini spesifik ditujukan untuk orang-orang Islam. Sedangkan (c) adalah aturan yang berkaitan dengan simbol-simbol keagamaan seperti kewajiban memakai jilbab bagi perempuan dan baju koko bagi laki-laki di hari Jumat. Aturan terakhir ini, pada praktiknya sering menimbulkan diskriminatif baik dalam pelayanan publik oleh pemerintah maupun di kalangan masyarakat sendiri. Bukan hanya kepada orang non-Muslim melainkan bahkan diskriminatif terhadap kalangan Islam sendiri.
Beberapa Pertimbangan untuk merespon
Dengan berbagai kenyataan di atas, penulis berpikir bahwa respon terhadap fenomena maraknya Perda dan berbagai aturan yang bernuansa agama, khususnya Islam, tidak bisa direspon hanya dari satu sudut pandang dan strategi tunggal semata. Peraturan-peraturan tersebut tampaknya harus dilihat kasus per kasus dengan segala latar belakang dan konteks politiknya masing-masing. Respon yang terlampau general dan gebyah uyah terhadapnya akan berisiko tertinggalnya berbagai hal penting dan tidak tuntas. Langkah demikian juga akan melahirkan kritik dan mungkin advokasi yang proporsional.
Dengan berbagai kenyataan di atas, penulis berpikir bahwa respon terhadap fenomena maraknya Perda dan berbagai aturan yang bernuansa agama, khususnya Islam, tidak bisa direspon hanya dari satu sudut pandang dan strategi tunggal semata. Peraturan-peraturan tersebut tampaknya harus dilihat kasus per kasus dengan segala latar belakang dan konteks politiknya masing-masing. Respon yang terlampau general dan gebyah uyah terhadapnya akan berisiko tertinggalnya berbagai hal penting dan tidak tuntas. Langkah demikian juga akan melahirkan kritik dan mungkin advokasi yang proporsional.
Pertama-tama, perlu terlebih dahulu diberi ukuran paradigmatik dan substansi tentang perda-perda atau aturan-aturan tersebut dengan argumen yang memadahi. Misalnya, dasar negara Pancasila dan UUD 1945 dengan segala amandemannya adalah ukuran utama, sedangkan prinsip-prinsip hak asasi manusia harus pula ikut mendukungnya. Dalam aturan-aturan yang dikategorikan sebagai public order atau keprihatinan umum seperti perjudian, prostitusi dan minuman keras sangat sulit untuk direspon ke tingkat substansi dan paradigamtik seperti itu, karena ia menjadi keprihatinan dan komitmen bersama masyarakat.
Yang harus dilakukan terhadap aturan semacam ini adalah pemantauan atas tujuan dan langkah-langkah penerapannya, misalnya pelarangan yang tanpa jalan keluar sehingga menimbulkan pengangguran massal dan penderitaan. Juga cara-cara penegakannya (enforcement), misalnya menggunakan cara-cara kekerasan dan kriminalisasi yang berlebihan serta diskriminatif. Dengan demikian advokasi yang dilakukan pun akan lebih memenuhi sasaran. Tanpa ada ukuran yang nyata dan respon yang terukur seperti itu dikuatirkan akan terjadi perdebatan yang tanpa ujung pangkal.
Ukuran berikutnya adalah prosedur pembuatan dan landasan atau konsideran dari aturan-aturan tersebut. Salah satu ukuran penting dalam hal ini adalah UU no. 10 tahun 2004 tentang prosedur pembuatan perundang-undangan, termasuk di dalamnya Perda dan aturan lainnya. Konsistensi konsideran yang mendasari aturan-aturan tersebut penting untuk diuji dengan landasan hukum yang berlaku di Indonesia. Ini penting mengingat, ada beberapa Perda yang diduga kuat hanya merupakan fotocopy dari daerah lain sehingga mengabaikan partisipasi masyarakat yang penuh sebagaimana diatur dalam UU tersebut dan niat baik tentang usaha menyelesaikan masalah sosial di daerah itu.
Di samping itu, juga ada beberapa aturan seperti SK Bupati dan Walikota yang mendasarkan, misalnya, pada Fatwa MUI atau pendapat sekelompok orang dengan mengabaikan landasan hukum yang ada. Dengan ukuran demikian, usaha untuk melakukan advokasi akan terfokus pada kesalahan dan penyimpangan aturan itu tanpa harus mengangkatnya terlalu tinggi pada level konstitusi, misalnya.
Ukuran berikutnya adalah konteks politik lokal. Jika memang terbukti bahwa Perda atau aturan sejenis benar- benar hanya komoditi politik seorang politisi untuk tujuan meraih jabatan tertentu, advokasi bisa difokuskan pada komoditifikasi politik tersebut. Di Sulawesi Selatan dan Cianjur, misalnya, terbukti bahwa “dagangan” Syari’ah Islam tidak memberikan dampak signifikan bagi terpilihnya seorang pasangan Gubernur dan Bupati. Daerah yang terkenal “maniak” Syari’ah Islam itu justeru memilih pasangan Gubernur-Wakil Gubernur yang mengusung visi pluralisme dan toleransi dan Bupati yang tidak mengusung isu itu.
Terkadang masalah politik memang menjadi masalah besar dan ini menuntut keberanian dan visioner dari para pemegang pemerintahan di pusat. Tetapi kenyatannya itu tidak dilakukan. Secara teoritik, SK-SK Bupati, Wakilkota dan Gubernur yang secara hukum tidak prosedural, misalnyadengan mendasarkan pada fatwa MUI, dan juga Perda-perda yang menyimpang seharusnya cukup dibatalkan oleh Mendagri. Tetapi karena kandungan politiknya tinggi maka pemerintah lebih memilih diam, kuatir dengan reaksi polittik yang akan menjatuhkan kepercayaan masyarakat.
Diperlukan tekanan politik yang besar kepada pemerintah untuk melakukannya. Namun hasil riset yang dilakukan the Wahid Institute (2008) keseluruhan dari fenomena itu menunjukkan lemahnya civil society untuk menekan para politisi dan pemerintah untuk lebih memberikan perhatian kepada isu-isu publik seperti kemiskinan, keadilan dan korupsi ketimbang isu-isu semu dan memuaskan sentimen kelompok semata.
Karena itu di samping memang diperlukan adanya reformasi terhadap hukum Islam itu sendiri (Abdullah An-Na’im, 2007), gerakancivil society untuk mengusung isu-isu substansial berdasarkan, meminjam istilah Na’im, public reason justeru untuk mengaktualkan substansi dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Kelompok seperti ini sesungguhnya sudah lama terbentuk dan bekerja di banyak sektor dan merata di hampir kelompok masyarakat, baik yang sejak awal mengusung nilai Islam secara langsung untuk mendukung demokrasi maupun yang berangkat dari tantangan sosial umumnya. Namun kelompok ini sering terbentur pada terbatasnya kemampuan untuk memonbilisasi massa secara langsung dan terkonsentrasinya sumber-sumber daya kekuasaan di tangan pemerintah dan parlemen (Suaedy, 2007).***
*Penulis adalah Direktur Eksekutif the WAHID Institute.
** Kertas kerja ini disampaikan dalam Asia Calling Forum “Islam dan Demokrasi di Asia Selatan” Jakarta, 13-15 Agustus 2008.
** Kertas kerja ini disampaikan dalam Asia Calling Forum “Islam dan Demokrasi di Asia Selatan” Jakarta, 13-15 Agustus 2008.
No comments:
Post a Comment
Jadilah anda yang pertama