Warren Buffet dan Bill Gates silih berganti menjadi orang terkaya di
dunia. Kekayaan mereka mencapai 40 miliar dollar AS. Kita pasti bisa
membayangkan setinggi langit, gaya hidup yang dapat dilakoni seseorang
denganharta sebanyak itu. Apa saja bisa dilakukan. Apapun bisa dibeli.
Tak ada yang mustahil didapat oleh mereka, selama masih bisa ditukar
dengan uang. Dua orang terkaya di dunia, bisa berbelanja apa saja.
Tapi, bertolak belakang dengan persepsi orang, Buffet justru hidup
sederhana. Tak ada keglamoran. Ia tak suka pesat berlebihan. Saking
sederhannya, konon itu kerap membuat malu bawahan-bawahan Buffet yang
justru punya gaya hidup dan pola membeli barang mewah. Sang majikan
teryata lebih sederhana dari anak buah.
Rumah tinggal Buffet bukan bangunan super mewah yang kerap masuk
rekor dunia. Seperti rumah salah satu orang yang masuk jajaran terkaya
di dunia, berasal dari India: mentereng, berlapis emas emas pada
beberapa perabotnya. Buffet jauh dari pola seperti itu.
Baju yang dikenakan Buffet juga tak gemerlap. Tidak seperti beberapa
aksesori berbalut intan-mutiara yang sering dikenakan tokoh terkenal.
Bagiamana dengan sepasang sepatunya? Buffet justru suka sepatu yang
santai. Alhasil, banyaknya harta yang dimiliki Buffet, tidak ditampakkan
melalui "performa fisiknya". Ia biasa-biasa saja ditengah keluarbiasaan
finansial yang dimilikinya.
Yang ditonjolkan oleh Buffet lebih kepada "performa sosialnya".
Buffet tercatat sebagai salah satu pengusaha yang paling aktif dalam
kegiatan kemanusiaan. Buffet menyumbang di berbagai lembaga sosial di
beberapa negara. Ia juga donatur untuk lembaga sosial Bill Gates yang
bergerak dalam bidang kemanusiaan, kesehatan, pendidikan, dan sosial.
Suatu waktu, ada satu peryataan menarik dari Buffet. Ia berkomitmen
untuk menyumbangkan 80% kekayaannya untuk kepentingan sosial dan
kemanusiaan. Sisanya sudah lebih dari cukup untuk memenuhi segala
kebutuhannya, dan kebutuhan anak-anaknya. Buffet menyatakan bahwa ia
tidak akan mewariskan terlalu banyak harta pada anak-anaknya. Yang 80%
itu bukan termasuk yang masuk daftar warisan. Tujuannya, kata Buffet,
agar anak-anaknya bisa tetap kreatif, inovatif, dan bekerja keras.
(Kompas, 13/2/2012).
Limpahan harta warisan yang berlebihan, kata Buffet, bisa membuat
anak-anaknya terjebak dalam "fatalisme sosial". Warisan yang melimpah,
menurut Buffet, potensial membuat anak cucunya terjebak pada pola hidup
hedonis dan puas diri. Berada pada posisi dan kondisi "tertekan", adalah
faktor yang bisa memicu motivasi seorang anak untuk berkarya.
Tentu, banyak argumentasi yang bisa diajukan terhadap fenomena Buffet
tersebut. Sebagian akan berkata, 20% dari harta Buffet sudah lebih dari
cukup untuk mewairisi ketujuh turunannya, bukan hanya anak-anaknya saat
ini. Sebagian dari kita yang lain juga bisa berargumen: tidakkah Buffet
bisa "mendidik" anaknya untuk bisa bersikap mandiri, tetapi dengan
tetap mewariskan semua hartanya?
Tentu, Buffet tak sesempurna penggambaran diatas. Ada banyak celah
untuk mengkritiknya. Tapi setidaknya Buffet memperlhatkan sebuah sikap
yang bisa diteladani. Hidup sederhananya mencerminkan pelajaran penting:
makna hidup tidak selalu didapat dari performa fisik, melainkan
performa sosial. Itulah yang ditegaskan Buffet. Bagi Buffet, makna hiudp
akan didapat, ketika kita bisa bermanfaat bagi yang lain. Ukurannya
bukan harta yang menumpuk secara korporatif, tapi harta yang
terdistribusi secara sosial kemanusiaan. Disitulah Buffet menemukan
makna hidup.
Pelajaran kedua dari Buffet: penanaman nilai edukasi pada kedua
anaknya. Buffet tidak memberikan hartanya sebagai warisan utama buat
anak-anaknya. Buffet justru mewariskan makna hidup kepada anaknya itu.
Karena ia yakin, bisa memaknai hidup akan menyelamatkan anak-anaknya,
ketimbang harta.
Sekali lagi, dengan segala kelemhan dan kritikan yang bisa kita
ajukan pada sosok Buffet, setidaknya kita bisa memetik sesuatu yang
positif dari orang terkaya di dunia itu: warisan paling berharga adalah
edukasi.
Penulis : JMC2
sumber : klik disni
No comments:
Post a Comment
Jadilah anda yang pertama