Wednesday, June 1, 2011

Di balik Pergulatan Kyai dalam Politik

Dinamika Demokrasi - Perbincangan mengenai kyai yang berkecimpung di dunia politik selalu menarik didiskusikan dan diwacanakan dalam berbagai tulisan atau opini di media massa. Arena pemilihan kepala  daerah secara langsung (pilkadal) sebagai salah satu hajatan pemerintah (dan masyarakat?) di tingkat lokal, harus diakui mempunyai magnet luar biasa terhadap ketertarikan banyak tokoh agama (baca: kyai) di ajang ini.
Terlepas apapun alasannya, sebagai wadah politik, pilkadal bagaikan sebuah “pesta kenduri” dengan aneka macam masakan yang mampu menerbitkan air liur setiap orang. Ya, pesta demokrasi kali ini adalah pesta para kyai sebagai aji mumpung sebagai implikasi pelaksanaan undang-undang otonomi daerah No 32/2004.
Sosok kyai memang identik dengan kharisma yang tinggi di masyarakat. Kyai sebagai panutan masyarakat adalah simbol yang oleh Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya ditegaskan bahwa kyai adalah pewaris para nabi. Kyai merupakan penerus tugas para nabi dan rasul dalam hal menyampaikan ajaran agama. Maka taat dan patuh pada “jalan” kyai diartikan sama dengan tunduk pada nabi.
Peranan kyai di masyarakat tentu saja sangat vital. Mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Kyai dengan segala kelebihannya serta betapa pun kecilnya lingkup kawasan pengaruhnya, masih diakui oleh masyarakat sebagai figur ideal yang mengindikasikan adanya kedudukan kultural dan struktural yang tinggi. Realitas ini sudah barang tentu memungkinkan kyai mempunyai peranan yang sangat besar di dalam masyarakat yang menjadi pengikutnya, baik di bidang keagamaan dan bahkan dalam bidang ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan lainnya.
Ulama dan Umaro’    Keterlibatan para kyai (ulama) dengan politik praktis yang cukup jauh pada masa penja-jahan adalah merupakan bukti sejarah yang riil. Misalnya mereka ikut bergerilya dengan bergabung ke dalam barisan Hizbullah-Sabilillah yang sebagian besar komandannya adalah para kyai, bahkan banyak pesantren yang menjadi markas barisan tersebut. Dan keterkaitan itu berlanjut hingga sekarang yang nampaknya semakin menjadi ancaman serius bagi peranan, posisi,  sekaligus “fungsi” kyai yang mulai luntur seiring dengan berjubelnya kyai dalam pentas politik, terutama semenjak pemilihan anggota legislatif dan pilpres kemarin. Lebih-lebih euforia pilkadal saat ini yang memungkinkan banyak tokoh agamawan lokal ikut serta memanfaatkan akses politik tersebut.
Parahnya, pergumulan itu ternyata berlanjut dengan membawa-bawa agama sebagai alat kekuasaan, landasan jaminan untuk “mengamankan suara” atau dijadikan sarana dalam perjuangan politik. Fungsi dan peran utama kyai yang awalnya hanya melulu urusan agama dan kemaslahatan umat mulai terkikis drastis. Orientasi politik ternyata lebih menggiurkan daripada sekadar berkutat di pondok-pondok pesantren, pengajian, majlis ta’lim, dll.
Di sini, nampak mulai terjadi semacam pertarungan sekaligus pertaruhan otoritas dalam kancah politik dan birokrasi yang awalnya dipercayakan pada seorang umaro’ (pemimpin). Bukan berarti catatan sejarah tidak pernah menarasikan eksistensi umaro’ bukan dari kalangan ulama. Namun, wilayah etis yang diagung-agungkan di antara keduanya menjadi semakin kabur. Tentu saja karena keduanya sesungguhnya mempunyai domain atau wilayah kerja dan “teritorial” yang sama sekali berbeda.
Sebagaimana yang dikemukakan Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren, sejak Islam menjadi agama resmi orang Jawa, para penguasa harus berkompetisi dengan pembawa panji-panji Islam atau para kyai dalam bentuk hirarki kekuasaan yang lebih rumit. Sebab, para kyai yang sepanjang hidupnya memimpin aktivitas kehidupan keagamaan juga telah memperoleh pengaruh politik. Dalam konteks yang sama, Soemarsaid Moertono (1995) menyatakan bahwa perebutan pengaruh antara penguasa dan para kyai biasanya selalu dimenangkan oleh pihak penguasa. Namun, Moertono juga menyatakan bahwa perebutan pengaruh tersebut tidak pernah padam dan tetap berlangsung sampai sekarang. Artinya, para kyai tetap memainkan peran politik yang sangat menentukan.
Keunggulan kyaiKyai memang mempunyai banyak sisi kelebihan dibandingkan kelompok-kelompok masyarakat lain. Dua keunggulan kyai seperti yang disebut Ali Maschan Moesa (1999) yaitu keunggulan ilmu dan keunggulan amal, turut mendorong kyai dalam memperoleh kesempurnaan diri dan berusaha menyempurnakan martabat orang lain (al-kamal wa al-takmil). Legitimasi kepemimpinan seorang kyai secara langsung diperoleh dari masyarakat yang menilai tidak saja dari segi keahlian ilmu-ilmu agamanya, melainkan dinilai pula dari kewibawaan yang bersumber dari ilmu, kesaktian, sifat pribadi, dan seringkali keturunan.
Dengan mengesampingkan keunggulan tersebut, dalam pandangan penulis sendiri kiranya cukup dan bahkan sangat wajar masyarakat bersuara lantang meminta para kyai untuk tidak terlalu ikut campur dalam proses politik. Tugas pokok kyai sebagaimana dalam hadits Rasulullah saw adalah kenabian, bukan kekuasaan politik (innaha nubuwwah la mulk). Kekhawatiran mereka sangat beralasan, sebab faktanya kyai hanya dijadikan tunggangan elit-elit yang lebih paham perpolitikan demi meraih kekuasaan semata. Hampir semua calon kepala daerah yang berlatar belakang “kekyaian” tahu betul bahwa kondisi sosio-kultural masyarakat masih berpihak pada kharismatik sang kyai. Kyai dianggap dapat mendulang suara yang cukup besar untuk mendukung partainya atau ambisi untuk merebut kursi kekuasaan.     
Kalaulah memang kyai harus berpolitik, setidak-tidaknya alangkah arif dan bijaksananya jikalau orientasi dan spirit dasar yang semestinya hendak dibangun memiliki sifat transformatif dan emansipatif untuk membina moral bangsa yang sudah demikian bobrok ini. Selain itu, kyai juga harus tegas bahwa keterlibatan mereka adalah upaya-upaya untuk memberi respon terhadap perubahan yang mengacu pada struktur sosial yang lebih adil, demokratis, dan mampu menjawab kebutuhan rakyat yang paling pokok.
Berpolitik sudah sepatutnya diniati karena Tuhan semata, karena aktivitas politik hanyalah kendaraan yang akan menghantarkan menuju tujuan. Kekuasaan yang ada harus dijadikan alat untuk memperjuangkan misi pokok yaitu kesejahteraan masyarakat. Intinya, makna politik harus ditempatkan sebagai salah satu alat perjuangan (wasail) untuk mencapai tujuan (maqashid).
Sekali lagi harus dipahami bahwa tugas pokok para kyai adalah penguatan (empowerment) civil society dan bukan terlalu jauh cawe-cawe dalam urusan politik, karena dari situlah ditemukan pemahaman konsep dalam menemukan jati dirinya dan keberadaannya di masyarakat. Titel kyai adalah titel yang lahir dari masyarakat, bukan muncul ketika seorang kyai tersebut menerjuni arena perpolitikan. Maka, apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat itulah sebenarnya konsumsi utama seorang kyai. Apa yang menjadi keresahan dan kerisauan di masyarakat itulah sebenarnya “lahan garapan” utama kyai.
Jangan sampai yang terjadi justru keresahan dan kerisauan sang kyai sendiri karena tidak mampu meraih dukungan positif dari masyarakat. Karena rupanya sudah menjadi hukum sejarah, seorang kyai yang terjun dalam politik praktis, sedikit demi sedikit sosok kharismatik dan kewibawaannya akan pudar. Sebab masyarakat sudah lebih pintar ketika harus memilih dan melakukan apa yang menjadi hak pribadinya.
Kyai tetap dihormati, tapi belum tentu juga akan dipatuhi ketika menggunakan daya pikatnya dalam mewujudkan ambisinya berpolitik. Sebab, energi yang berputar di sepanjang jalur politik, saat ini nyatanya masih diyakini sebagai energi negatif, penuh intrik, saling memakan satu sama lain, dan tentu saja tidak seiring-sejalan dengan harapan masyarakat atas diri seorang kyai. Wallahu a’lam bisshowab (red. Iwan Irawan Wijaya).

No comments:

Post a Comment

Jadilah anda yang pertama

Berita Terbaru