Thursday, June 30, 2011

Demokrasi Gagal Akibat Politik Uang

INILAH.COM, Jakarta Demokrasi di Indonesia dianggap telah gagal. Kegagalan itu bukan akibat kesalahan rakyat, melainkan kekeliruan calon terpilih dalam memahami sistem demokrasi. Dalam pemilu misalnya, para calon lebih suka membagi-bagikan uang dan sembako ketimbang menawarkan program. Akibatnya, rakyat tak memikirkan kualitas dan kredibilitas sang calon.
Eggi Sudjana, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jawa Barat, mengemukakan, meruyaknya praktik politik uang seperti itu telah menjadi sumber kegagalan demokrasi di Indonesia. Bila tak segera diberantas, politik uang akan membunuh kehidupan demokrasi yang yang telah diupayakan sejak reformasi.
Oleh karena itu, Eggi berpesan agar rakyat jangan meminta-minta, jangan celamitan kepada para calon pemimpin. "Yang membutuhkan pemimpin itu adalah rakyat. Maka berjuanglah untuk mencari pemimpin yang jelas-jelas berpihak pada rakyat," tegas Eggi.
Megapa Eggi menganggap demokrasi telah gagal? Apa sebenarnya argumentasi Eggi? Berikut ini petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda menilai demokrasi dalam menyejahterkan rakyat?
Demokrasi kita elah gagal menyejahterakan rakyat. Kegagalan demokrasi ini bukanlah kesalahan rakyat, melainkan kesalahan calon terpilih. Pada saat pencalonan misalnya, dia lebih suka membagi-bagikan uang dan sembako daripada menawarkan program. Karenanya demokrasi kita tidak substantive, melainkan tergantung dana.
Oleh karena itu, saya berpesan agar rakyat jangan meminta-minta. Rakyat jangan celamitan. Yang membutuhkan pemimpin itu adalah rakyat. Maka berjuanglah mencari pemimpin yang keberpihakannya kepada mereka jelas.
Jika begitu, apa yang harus disuarakan oleh seorang calon anggota DPD seperti Anda?

Pertama mesti dibedakan dulu pemahan tentang DPD RI dan DPR RI. Kalau DPD identik dengan senator di Amerika seperti Obama. Sebenarnya Obama itu DPD dari Ilionis, di sana dinamakan senator. Nah kita DPD Jawa Barat, berarti kan saya calon senator dari Jawa Barat. Maka yang diperjuangkan DPD adalah aspirasi yang berkembang di daerah itu. Bagaimana daerah yang diwakilinya itu menjadi maju. Itu substansi DPD.
Kalau DPR, satu pemilihan yang mewakili rakyat langsung berdasarkan kategori politik partainya dan aliran ideologi parta itu. Makanya ada PDIP, ada Golkar, ada PPP, PBR, dan lain-lain. Itu kan partai politik yang membawa aliran masing-masing. Jadi lebih kepada fungsional aspirasi rakyat yang berdasarkan aspirasi ideologi. Kalau DPD, daerahnya itu sendiri dengan segala kearifan lokalnya.
Lantas apa motivasi Anda mencalonkan diri?
Dalam kondisi itu, maka saya memilih DPD. Karena, saya sebagai orang Jawa Barat. Ibu saya dari Sumedang, namanya Djuju Arsanah dan ayah saya H Sukarna, dari Pamanukan. Jadi saya asli Sunda, yang saya lihat dari sisi sumber daya manusia paling banyak penduduknya se-Indonesia kurang lebih hari ini 41 juta orang.
Kemudian juga jumlah pemilihnya paling banyak 29 juta orang, nomor dua Jawa Tengah. Tetapi dari orang Jawa Barat belum pernah ada yang menjadi presiden. Jadi saya terobsesi sebagaimana Obama, tahapannya lewat senator sekarang bisa jadi presiden.
Anda akan mencalonkan diri sebagai presiden nantinya?
Suatu saat, ya. Namanya juga obsesi, boleh dong. Mudah-mudahan perundang-undangan calon independen sudah membolehkan itu. Karena banyak contoh, calon independen di beberapa daerah ternyata menang. Bupati Garut misalnya, dimenangkan calon independen. Di Bogor pun menang tapi juara ketiga. PKS kalah dengan independen.
Nah fenomena ini akan semakin kuat ke depan, dengan asumsi orang semakin muak pada partai. Terlalu banyak janji dilontarkan partai, realisasinya tidak ada. Kalau dipakai sebagai kendaraan politik untuk pilkada, partai minta setoran. Untuk level bupatisekitar Rp 5 miliar, kalau level gubernur bisa Rp 10 miliar. Nah seperti itu fenomenanya yang kita lihat.
Persoalan Jawa Barat apa yang akan Anda bawa ke DPD?
Ada beberapa hal penting. Pertama dari 41 juta rakyat Jawa Barat, kurang lebih 10 juta di antaranya menganggur. Jadi saya punya ide bagaimana di Jawa Barat dibentuk Badan Penanggulangan Pengangguran Daerah. (BP2D). Karena asumsinya orang yang menggangur tidak ada yang mengurus. Depnakertrans hanya mengurus orang yang sudah bekerja. Nah bila saya terpilih jadi anggota DPD, saya bisa mendesak gubernur. Supaya aspirasi daerah yang saya wakili ini, masyarakatnya jangan sampai ada yang susah.
Kedua, saya fokus ke pendidikan dan kesehatan. Tentunya pendidikan dari tingkat TK, sampai SMA paling tidak, harus gratis. Jadi, di Indonesia khususnya Jawa Barat jangan sampai ada yang buta huruf. Kita tidak boleh melihat kaya miskin. Anggaran pendidikan 20% yang diamanatkan oleh Undang-Undang 45, harus terealisasi. Kalau kurang, tambah lagi. [P1]

No comments:

Post a Comment

Jadilah anda yang pertama

Berita Terbaru