Friday, March 18, 2011

Watch Dog

Asumsi bahwa masyarakat bisa ditembaki pesan-pesan lewat media massa sebenarnya sudah tidak berlaku lagi sekarang. Asumsi itu didasari bullet theory yang menganggap pesan-pesan propaganda dapat dengan gampang ditembakkan kepada sasaran. Teori itu berlaku di masa Perang Dunia I kemudian dilanjutkan di masa propaganda Nazi dan komunis. Pada masa-masa itu orang mengira masyarakat bersikap pasif dan menyerap apa pun propaganda/pesan yang disampaikan. 



Proses sejarah membuktikan lain. Lingkungan, latar belakang pendidikan, dan pribadi si sasaran ikut menentukan. Sejak 1960-an, asumsi kuno itu tergeser oleh pembuktian bahwa subjektivitas pengirim dan penerima pesan ikut mewarnai. Masyarakat tidak mudah menerima pesan yang tidak sesuai dengan kata hati mereka. Mereka membuat seleksi. Seberapa efektif pesannya bergantung pada banyak faktor. 

Sebagai misal, masyarakat Indonesia tidak seluruhnya serta-merta menerima saja apa yang disampaikan koran-koran Australia The Age dan The Sydney Morning Herald, 11 Maret lalu. Ada kontroversi. Reaksi pertama pada orang-orang yang peka akan situasi politik adalah kesal, meskipun mungkin tidak merasa heran. Kejadian serupa pernah dialami Presiden Kedua RI. Akibatnya wartawan senior The Sydney Morning Herald, David Jenkins, dilarang masuk Indonesia untuk waktu tertentu. 

Yang membuat kesal tentang kasus dua media Australia: mengapa media asing sampai merasa lebih tahu hingga peradaban politik di Indonesia menjadi bulan-bulanan. Sudah tepatlah yang dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menuntaskan sendiri perkara yang merugikan martabatnya. Soal kebocoran sumber rahasia diplomatik Amerika, maupun kebiasaan WikiLeaks membongkar skandal para pemimpin dunia, bukan urusan kita. Yang kita pertanyakan: apakah pemberitaan kedua koran dilandaskan pada kebenaran? 

Kepentingan dan fungsi 

Mudah-mudahan penuntasan oleh Presiden Yudhoyono nantinya bisa sekaligus mengungkap realitas politik nasional yang akhir-akhir ini menjadi gaduh terutama akibat persaingan antarpartai yang sudah mendekati ambang batas toleransi masyarakat. Itu alasannya mengapa media massa sebagai watch dog dipersepsikan lebih galak, khususnya oleh yang merasa bersalah. 

Jika berbicara tentang media nasional, seburuk apa pun yang kami lakukan, kami umumnya tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga negara lain, betapa janggal pun situasinya. Kami tidak akan berpretensi tahu banyak sekadar agar bisa berbangga. Yang kami sampaikan hanya sebatas pemberitaan tentang apa yang nyata-nyata terjadi. Dalam menyoroti situasi dalam negeri, kami juga tetap berusaha mematuhi etika jurnalistik, demi kemaslahatan bersama. Nothing personal. Selain berusaha mengungkap aspirasi rakyat banyak, kami merasa berkewajiban menjalankan fungsi sebagai penjaga demokrasi. 

Dalam kegaduhan politik yang merebak dan sarat akan kepentingan kelompok, kami sering menjadi kambing hitam. Antara lain ada tuduhan klise bahwa kami melakukannya agar koran kami laku. Tuduhan itu rasanya tidak menghormati tujuan ideal pers umumnya. Pernyataan LB Murdani (alm) bahwa "The press thinks he is Jesus Christ, but he is not" kedengaran lebih terhormat, walaupun menyengat. Tuduhan itu tidak mudah dilupakan dan selalu membuat kami mengadakan retrospeksi. Idealnya, ungkapan itu dipakai retrospeksi semua pihak yang memiliki kekuasaan. Faktanya memang tidak ada kekuasaan yang bisa menganggap diri Tuhan atau nabi. 

Benarkah kecurigaan bahwa pers sering ditunggangi kepentingan tertentu? Kecurigaan itu wajar karena pers/media massa tidak homogen. Persyaratan SDM berbeda dan pendidikannya berbeda. Akibatnya pengungkapan visi dan misi berbeda, dan subjektivitas berbeda. Dalam diskusi antarkalangan pers sendiri, misalnya, tidak jarang mereka yang merasa diayomi kekuasaan bernada beda dari yang tidak mendapat pengayoman. Ada juga yang selalu bersikap hati-hati untuk melindungi diri sendiri. Sudut pandang beragam. Namun, masing-masing merasa melakukannya demi kebenaran dan untuk kepentingan bangsa dan negara. 

Watch Dog atau Puppy? 

Silakan menonton acara Kick Andy di Metro TV, besok malam. Kedengaran seperti iklan? Maksudnya bukan demikian. Itu sekadar ajakan untuk melihat sisi lain fungsi media massa. Sebagai pengabdi kebenaran, jangkauan media massa amat luas. Tidak semata-mata terbatas pada soal-soal politik praktis yang akhir-akhir ini terkesan memenuhi acara-acara media elektronik maupun lembaran-lembaran media cetak. Banyak yang bosan dan bingung dengan ramainya komentar. 

Namun seperti dikatakan di awal tulisan, tidak ada yang memaksa kita mengikuti produk-produk media massa yang tidak kita inginkan. Kita melakukan seleksi sendiri. Orang kebanyakan berpikir lebih sederhana: karena menginginkan hiburan, mereka fokus pada tontonan yang menghibur--sinetron, musik, dagelan, kartun, dan semacamnya. 

Selain produk-produk hiburan, media massa banyak mengungkap kegiatan tentang pengabdian masyarakat yang bersifat kemanusiaan. Tontonan seperti itulah yang akan ditampilkan Metro TV, besok malam, dalam rangka ulang tahun kelima program Kick Andy. 

Tersebutlah tukang becak bernama Paris Sembiring yang putus sekolah dari bangku kelas II SMP. Ketika masih bekerja sebagai penarik becak, dia biasa beristirahat di Jalan Iskandar Muda, Medan, di bawah pohon mahoni. Suatu hari, buah mahoni yang sudah matang jatuh ke mukanya ketika dia sedang tertidur di becak. Tergeraklah hatinya untuk menanam biji mahoni itu. "Pohon mahoni besar itu sudah memberiku keteduhan saat tidur siang. Jadi, tergerak hatiku membibitkan bijinya dan menanamnya," kisah Paris. Bermula dari peristiwa itu, dia terinspirasi menjalankan usaha persemaian. Dia berhenti bekerja sebagai penarik becak pada 1978 kemudian membuka warung kopi dan mengelola pembibitan berbagai jenis tanaman di tanah seluas 4.000 m2 di belakang rumah sewaannya itu. 

Sekarang luas tanah pembibitannya mencapai hektaran. Nama Paris Sembiring terkenal di kalangan instansi-instansi pertanian, kehutanan, dan lingkungan hidup serta gereja, kalangan tokoh agama, pemuda, dan pelajar. Dia sering memberikan pelatihan kader lingkungan dan diundang ke berbagai seminar. Di rumahnya, terpampang berbagai foto penting seperti ketika bertemu Presiden RI, para menteri, dan duta besar perwakilan asing. Juga ada 45 piagam dan berbagai tanda penghargaan lainnya, termasuk Piala Kalpataru 2003. Tiga kader yang dia bina pun berhasil mendapatkan penghargaan Kalpataru. 

Kisah Paris Sembiring dan enam pahlawan Kick Andy lainnya, yang akan ditayangkan Metro TV, menunjukkan media massa tidak selalu menjadi watch dog yang garang. Dia tidak jarang menunjukkan sisi lain dirinya sebagai puppy, anjing kecil yang melambangkan kasih sayang. 

Oleh Toeti Adhitama 
Anggota Dewan Redaksi Media Group

No comments:

Post a Comment

Jadilah anda yang pertama

Berita Terbaru