Monday, March 21, 2011

Humanisme sebagai Jawaban

Oleh Adi Ekopriyono 

ZAMAN Eropa Barat Abad Pertengahan (sekitar tahun 500-1000) sering disebut sebagai abad gelap bagi kemanusiaan. Ketika itu separo bagian barat kekaisaran Roma mulai runtuh, muncul bahaya hilangnya filsafat dan warisan masa lampau. Para teolog menghadapi masalah hubungan antara iman (teologi) dan akal budi (filsafat).


Pada abad itu, agama berkembang dan memengaruhi hampir seluruh kegiatan manusia, termasuk pemerintahan. Konsekuensinya, sains yang sebelumnya berkembang di masa Yunani Klasik dipinggirkan karena dianggap mengalihkan perhatian manusia dari ketuhanan. Agama sangat membelenggu kehidupan sehingga manusia tidak memiliki kebebasan mengembangkan potensi diri.

Menghadapi dominasi agama yang kuat itulah kemudian muncul gerakan-gerakan reformasi. Banyak faktor memengaruhi munculnya reformasi, salah satunya adalah humanisme (Linda Smith dan William Raeper dalam Ide-ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang, 1991).

Menurut Franz Magnis-Suseno, seperti dikutip Abu Hatsin dalam Islam dan Humanisme, Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal (2007), humanisme merupakan kepercayaan bahwa setiap manusia harus dihormati sebagai manusia seutuhnya, bukan karena bijaksana atau tolol, baik atau jelek, dan tanpa memandang agama atau suku, komunitas agama, laki-laki atau perempuan.

Humanisme merupakan keyakinan yang dirasakan secara mendalam bahwa kita harus memperlakukan setiap manusia sebagai manusia, seperti kata Hans Kung dan Karl-Josef Kuschel (dalam Etik Global, 1999). Etik Global menekankan, tanpa melihat perbedaan jenis kelamin, ras, warna kulit, kemampuan fisik atau mental, bahasa, agama, pandangan politik, latar belakang sosial atau nasional, setiap manusia memiliki martabat asasi dan tidak dapat diganggu gugat.

Kita tidak boleh menyakiti sehingga orang-orang di sekeliling kita selalu diperlakukan secara adil, penuh perhatian, dan kasih sayang. Humanisme merupakan salah satu kriteria keaslian agama. Suatu agama atau ajaran agama yang menekankan bahwa perbuatan jahat terhadap makhluk yang bernyawa, menyakiti atau mempermalukan orang lain dengan alasan agama atau untuk mempertahankan kebenaran agamanya, justru menodai ajaran-ajaran agama dan pemeluknya. Sikap kejam atas nama Tuhan justru bisa dianggap sebagai penghinaan kepada Tuhan.

Konteks Indonesia

Sekarang mari kita menengok kondisi Indonesia. Bangsa kita tidak terlepas dari pengaruh gerakan globalisasi dan gerakan ideologi transnasional. Globalisasi dipandang dari sisi budaya merupakan proses penetrasi budaya Barat terhadap budaya lokal di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, kemudian menjelma menjadi penjajahan bentuk baru.

Istilah gerakan ideologi transnasional dipopulerkan oleh mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, pertengahan 2007. Istilah itu merujuk pada ideologi keagamaan lintas negara yang sengaja diimpor dan dikembangkan di Indonesia, baik datang dari Timur Tengah maupun Barat (NU Online, 15/05/2007).
Dua gerakan tersebut ternyata mendorong bangsa ini kembali pada kondisi yang mirip dengan kondisi Abad Pertengahan, ketika agama berkembang dan memengaruhi hampir seluruh kegiatan manusia, termasuk pemerintahan.

Perkembangan itu memang tidak keliru, sepanjang lebih memberikan kesejahteraan, ketenteraman, dan kerukunan masyarakat luas. Menjadi keliru, kalau ternyata perkembangan itu justru menimbulkan dominasi nyaris mutlak, menghilangkan martabat manusia dan pengakuan atas kemampuan pikiran, seperti yang terjadi pada Abad Pertengahan.

Tragisnya, kecenderungan ke arah kondisi Abad Pertengahan itu sudah muncul. Penerapan hukum agama ke dalam hukum positif, usaha menjadikan Indonesia sebagai negara agama, serta pengotak-kotakan, kekerasan, teror, dan konflik bernuansakan agama bermunculan. Orang pun leluasa berbicara di depan umum (misalnya melalui media massa) tentang hal-hal tersebut.

Tulisan ini menawarkan humanisme sebagai jawaban, seperti humanisme Abad Pertengahan yang mendorong munculnya reformasi. Humanisme yang menyelaraskan eksistensi manusia dengan paham ketuhanan serta memperlakukan manusia sebagai manusia terlepas dari sekat-sekat agama, suku, ras, golongan, gender, tingkat intelektualitas, dan predikat lainnya. (10)

— Adi Ekopriyono, Direktur Eksekutif Budi Santoso Foundation

No comments:

Post a Comment

Jadilah anda yang pertama

Berita Terbaru