Tuesday, March 15, 2011

Paradoks Kebangsaan Siswa Kita

Ada paradoks yang menghinggapi cara pandang para siswa kita dalam melihat sentimen kebangsaan dan sentimen keagamaan mereka saat ini. Paradoks tersebut memang perlu diteliti lebih lanjut, apakah pandangan tersebut dapat mewakili pandangan semua siswa kita di sekolah seluruh Indonesia atau tidak. Paradoks itu dijumpai dari hasil riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip), Jakarta.
Melalui sebuah survei, siswa-siswa di 10 kota se-Jabodetabek ditanyai tentang sikap politik mereka. Sebanyak 98,7% siswa merasa sangat bangga menjadi bagian dari warga dan bangsa Indonesia, dan 98% siswa lebih mengutamakan untuk membeli produk Indonesia ketimbang produk negara lain. Sementara ketika ditanya tentang sistem demokrasi yang saat ini dijalankan negara Indonesia, 59,8% siswa merasa bahwa sistem demokrasi saat ini merupakan yang paling tepat, tetapi dengan catatan ada sebanyak 25,8% siswa kita yang menganggap Pancasila tidak lagi relevan sebagai ideologi negara. 

Kekurangpuasaan siswa yang tergambar tentang sistem demokrasi Indonesia tersebut ditandai dengan (1) adanya pandangan siswa yang menganggap bahwa sistem demokrasi saat ini tidak mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat (67%); (2) menganggap pemerintah tidak berhasil dalam menangani sebagian besar persoalan bangsa (76,1%); (3) menilai bahwa partai politik tidak mampu menyerap dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat (67,3%); serta (4) siswa juga menilai para anggota DPR/DPRD cenderung mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat pada umumnya (80,7%). 
Angka-angka statistik hasil survei tersebut merupakan pertanda bahwa di dalam benak para siswa, sistem demokrasi yang ada saat ini tidak berjalan sesuai dengan cita-cita ideal kehidupan berbangsa, yaitu keadilan dan kesejahteraan sosial yang sering mereka baca dan dapatkan dari proses pembelajaran di sekolah. Buku pendidikan kewarganegaraan kita, misalnya, banyak sekali mengajarkan hal-hal ideal dalam upaya mewujudkan kondisi kehidupan bernegara yang juga ideal. Namun, fakta yang mereka saksikan dari para penyelenggara negara adalah hal-hal yang sebaliknya. Meski penerimaan siswa terhadap demokrasi sebagai nilai intrinsik cukup tinggi, ketidakpuasan terhadap demokrasi sebagai instrumen untuk menyejahterakan rakyat juga cukup tinggi. Lebih tinggi lagi ialah tingkat ketidakpuasan terhadap kinerja lembaga-lembaga politik. 
Dalam kondisi semacam ini, survei Lakip juga berusaha menggali, kira-kira sistem demokrasi atau sistem penyelenggaraan tata negara bagaimana yang kira-kira bisa memberi solusi terhadap kekecewaan tersebut. Jawaban para siswa juga cukup mengejutkan. Sebanyak 65,6% siswa di Jabodetabek sangat/cukup setuju, jika syariat/hukum Islam diberlakukan di Indonesia, berbagai persoalan bangsa akan dapat diatasi. Oleh karena itu, para siswa juga (71,9%) beranggapan bahwa umat Islam Indonesia seyogianya menyalurkan aspirasi politik mereka ke dalam partai-partai Islam. Dari data-data tersebut tampaknya kita perlu menganalisis lebih jauh, apakah pandangan bahwa penerapan syariat Islam sebagai solusi persoalan bangsa dan preferensi menyalurkan aspirasi politik melalui partai Islam berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap kinerja sistem dan lembaga-lembaga politik? Atau dalam konteks pengajaran di sekolah, sebaiknya kita sudah mulai berpikir untuk mengintegrasikan proses pembelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan ke dalam satu paket dan rangkaian yang dapat menimbulkan perasaan kebangsaan yang semakin dewasa. 
Salah satu makna penting pengintegrasian pengajaran agama dan kewarganegaraan ke dalam satu paket ialah dalam rangka menumbuhkan semangat toleransi dan kebersamaan siswa sebagai anak bangsa Indonesia. Meskipun Islam agama mayoritas penduduk di Indonesia, diharapkan pengajaran agama dan kewarganegaraan dapat meredam semangat tirani mayoritas yang cenderung melegalkan dan menganggap segala sesuatunya sebagai milik mayoritas. Dengan demikian, pengajaran agama dan kewarganegaraan berpotensi menjadikan siswa kita sebagai warga negara yang baik (good citizenship). 
Prinsip-prinsip good citizenship yang diambil dari proses pengajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan juga akan membuat siswa lebih aktif terlibat dalam proses politik secara sehat, karena basis pengetahuan mereka secara agamis dan ketatanegaraan pasti akan lebih baik. Pengintegrasian tersebut juga diharapkan akan mampu mendorong sikap-sikap siswa yang lebih toleran dalam rangka membantu penguatan sistem demokrasi yang saat ini sedang dikembangkan di Indonesia (Elizabeth Theiss-Morse and John R Hibbing: Citizenship and Civic Engagement, 2005). 
Survei Lakip tersebut sesungguhnya ingin memperlihatkan adanya kecenderungan radikalisme di kalangan siswa sekolah menengah di Jabodetabek, yakni dukungan dan kesediaan siswa untuk terlibat dalam aksi kekerasan memiliki kecenderungan yang relatif tinggi. Karena itu, salah satu rekomendasi yang perlu didiskusikan lebih lanjut ialah merencanakan pengembangan kurikulum pengajaran agama dan kewarganegaraan ke dalam satu paket yang terintegrasi. 

Ahmad Baedowi

No comments:

Post a Comment

Jadilah anda yang pertama

Berita Terbaru