Dinamika Demokrasi - Perbincangan mengenai kyai yang berkecimpung di dunia politik selalu menarik didiskusikan dan diwacanakan dalam berbagai tulisan atau opini di media massa. Arena pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadal) sebagai salah satu hajatan pemerintah (dan masyarakat?) di tingkat lokal, harus diakui mempunyai magnet luar biasa terhadap ketertarikan banyak tokoh agama (baca: kyai) di ajang ini. Terlepas apapun alasannya, sebagai wadah politik, pilkadal bagaikan sebuah “pesta kenduri” dengan aneka macam masakan yang mampu menerbitkan air liur setiap orang. Ya, pesta demokrasi kali ini adalah pesta para kyai sebagai aji mumpung sebagai implikasi pelaksanaan undang-undang otonomi daerah No 32/2004.
Sosok kyai memang identik dengan kharisma yang tinggi di masyarakat. Kyai sebagai panutan masyarakat adalah simbol yang oleh Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya ditegaskan bahwa kyai adalah pewaris para nabi. Kyai merupakan penerus tugas para nabi dan rasul dalam hal menyampaikan ajaran agama. Maka taat dan patuh pada “jalan” kyai diartikan sama dengan tunduk pada nabi.
Peranan kyai di masyarakat tentu saja sangat vital. Mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Kyai dengan segala kelebihannya serta betapa pun kecilnya lingkup kawasan pengaruhnya, masih diakui oleh masyarakat sebagai figur ideal yang mengindikasikan adanya kedudukan kultural dan struktural yang tinggi. Realitas ini sudah barang tentu memungkinkan kyai mempunyai peranan yang sangat besar di dalam masyarakat yang menjadi pengikutnya, baik di bidang keagamaan dan bahkan dalam bidang ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan lainnya.