KONTROVERSI SEPUTAR PERDA SYARI'AH
Oleh: DR. Zainuddin, MA[1]
Abstrak
Pada
satu sisi kelompok Islam menginginkan aturan hukum yang berlaku di
Indonesia, bernuansa syar’iah, setidaknya bagi umat Islam, karena
problem masyarakat selama ini cendrung disebabkan oleh melemahnya
komitmen keagamaan dan tidak tegaknya syari’at. Pada sisi lain kelompok
sekuler dan non muslim tidak menginginkan adanya intervensi agama ke
dalam negara. Kontroversi ini tidak tetap muncul di zaman otonomi
daerah, dengan munculnya keinginan untuk menerapkan Perda Syari’ah di
beberapa daerah yang berbasis Islam.
Akar
Kontroversial di atas berawal dari beberapa masalah berikut: Perbedaan
Pandangan dalam Melihat Islam, Problem Sumber Hukum, Studi Hukum Islam
yang Bersifat Teoritis, Kontroversi Kelompok Agamis dan Nasionalis,
Kontroversi Muslim dan non Muslim.
Kontroversi
ini agaknya akan terus berlanjut bila tidak dilakukan kompromi-kompromi
politik atau kembali ke prinsip demokrasi yang mengedepankan
nilai-nilai universal. Di samping itu dapat juga dieliminir akar
persoalan yang menjadi penyebab kontroversi ini.
A. Pendahuluan
Di
zaman Orde Baru dalam berbagai kesempatan Presiden Soeharto sering
mengatakan bahwa Indonesia bukan Negara agama dan bukan pula Negara
sekuler. Pernnyataan ini nampaknya ingin menunjukkan pada satu sisi agar
tidak terjadi dominasi agama dan pada sisi lain agama juga tidak dapat
diabaikan. Namun karena dominasi kekuasaan sangat kuat tidak muncul
reaksi politik yang bernuansa agama, kalau toh muncul langsung dipotong
oleh kekuasaan. Indikator yang cukup menentukan terhadap hal ini adalah
munculnya kebijakan pemerintah menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya
asas, atau dikenal juga dengan asas tunggal. Semua organisasi, baik
ormas kegamaan maupun ormas non keagamaan menjadi merubah asasnya dengan
Pancasila kalau ingin tetap diakui keberadaannya di bumi pertiwi ini.
Semenjak
tumbangnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi kebijakan pemerintah
tentang asas tunggal berubah. Ormas-ormas atau organisasi apapun
mendapat angin segar untuk bernafas, sehingga tidak lagi semua
organisasi berasaskan Pancasila. Banyak organisasi yang kembali ke
khittahnya semula. Ormas-ormas Islam mengembalikan asasnya kepada Islam.
Ormas Islam yang dulunya bergerak di bawah tanah, karena tidak mau
menerima asas tunggal, kembali hidup bebas di udara Republik Indonesia.
Seirima
dengan bertiupnya angin segar di bawah bendera reformasi, muncul pula
keinginan bagi sebagian kalangan yang peduli pada komitmen keislaman
agar Islam betul-betul eksis, baik secara normatif maupun kultural.
Untuk mencapai hal ini menurut mereka harus dimulai melalui politik
kekuasaan. Keinginan ini terlihat dari kemunculan berbagai partai Islam.
Di samping itu di daerah-daerah yang memiliki basis keislaman yang kuat
muncul pula keinginan untuk menerapkan ajaran Islam secara holistik.
Aceh, umpamanya, menuntut diberlakukannya Undang-Undang Otonomi khusus
sebagai daerah Istimewa dan sebagai daerah yang memiliki budaya Islam
yang sangat kental, yang terkenal dengan serambi Mekah. Begitu juga
daerah-daerah lain seperti Sumatera Barat, Banten, Bulukumba dan
lain-lain sebagainya. Sehingga akhirnya gagasan ini menjadi perdebatan
yang sangat kuat di kalangan Anggota DPR untuk mengakui keberadaan
Peraturan Daerah (Perda) Syar'iah. Sampai saat ini belum terjadi kata
sepakat di antara mereka.
Tulisan
ini akan mencoba melihat kontroversial seputar Perda Syari'ah ini dan
dimana akar permasalahannya. Kalaupun telah ada komentar dan pendapat
seputar ini, mungkin masih ada sisi lain yang dapat dilihat dengan kacamata mata yang berbeda.
B. Pengertian
Perda
(Peraturan Daerah) Syari'ah adalah suatu peraturan yang bermuatan nilai
dan atau norma Islam yang bersumber dari Alqur'an dan Sunnah yang
berlaku di suatu daerah. Peraturan Daerah merupakan urutan terendah
dalam urutan tata hukum di Indonesia.
Tidak
sama antara istilah syari'ah yang dipahami secara umum oleh orang
ketika membicarakan perda syari'ah dengan syari'ah dalam kajian hukum
Islam. Dalam kajian hukum Islam istilah Syari'ah dibedakan antara
syari'ah dalam arti sempit dan syari'ah dalam arti luas. Syari'ah dalam
arti sempit berarti teks-teks wahyu atau hadis yang
menyangkut masalah hukum normatif. Sedangkan dalam arti luas adalah
teks-teks wahyu atau hadis yang menyangkut aqidah (keyakinan), hukum dan
akhlak. Dalam hal ini syari'ah berarti teks ajaran Islam secara
keseluruhan.
Dalam
konteks Perda syari'ah nampaknya yang digunakan adalah syari'ah dalam
arti sempit. Namun hal ini tetap saja berbeda pengertian syari'ah
tersebut, karena yang dimaksud syari'ah adalah teks wahyu atau hadis
yang tidak ada intervensi manusia. Sedangkan yang dijadikan perda
syari'ah tidaklah teks-teks wahyu atau hadis, akan tetapi sudah
merupakan pehaman atau penafsiran dari teks tersebut, sekurang-kurangnya
terjemahan teks. Di sini sudah banyak terjadi intervensi manusia.
Produk
hukum yang sudah diintervensi manusia tidak lagi bernama syari'ah.
Dalam terminologi hukum Islam hukum ini disebut fiqh. Dalam hal ini fiqh
merupakan hasil ijtihad ulama atau fukaha yang mengacu pada dalil
Alqur'an dan atau Sunnah (syari'ah). Dalam konteks kehidupan bernegara
hasil ijtihad ini dijadikan hukum hukum positif atas dasar kesepakatan
legislatif. Hukum ini dikenal dengan qanun, yang dalam bahasa Indonesia
disebut undang-undang. Bila sumber pembentukan qanun itu Alqur'an dan
Sunnah disebutlah ia dengan qanun syar'i. Akan tetapi bila bersumber dari semata pemikiran manusia atau sumber-sumber selain wahyu dinamakan dengan qanun wadh'i.
Qanun inilah nampaknya yang diinginkan berlaku oleh para pencinta Perda
Syari'ah, bukan syari'ah atau hukum syar'i, karena syari'ah adalah
teks-teks asli dari Alqur'an atau Hadis yang sebagian besar masih
memerlukan penjelasan dan penafsiran para ulama.
Istilah
syari'ah ini di Indonesia nampaknya tidak lagi mengacu pada makna
aslinya, akan tetapi suatu istilah yang ingin memperlihatkan secara
nyata mana aturan yang bersumber dari ajaran Islam dan mana pula yang
tidak bersumber dari ajaran Islam, yang dalam hal ini dari pemikiran
manusia belaka. Walaupun sebenarnya dalam aplikasi yang bernuansa
syari'ah itu banyak mengadopsi pemikiran manusia (ulama/fukaha),
terutama yang menyangkut mu'amalah. Hal ini terlihat dari kemunculan
istilah ekonomi syari'ah, bank syari'ah, asuransi syari'ah dan lain-lain
sebagainya.
Jadi,
istilah syari'ah walaupun diambil dari bahasa Arab, tapi tidak
mengadopsi ma'na aslinya. Oleh karena itu perlu dipertegas secara
operasional makna ini, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam
memaknai dan menggunakannya.
C. Peta Kontroversial
Ada
yang mengelompokkan kontroversi terhadap Perda Syari'ah ini pada tiga
kelompok. Pertama, yang mendukung; kedua, yang menolak dan ketiga, yang
tidak memiliki sikap apakah mendukung atau menolak. Yang terakhir
ini tidak akan dikomentari, karena tidak mempengaruhi arus pemikiran
yang berkembang. Dalam pandangan lain ada yang mengelompokkan
kontroversi ini antara kalangan agamis dan kalangan nasionalis. Kalangan
agamis untuk yang mendukung dan nasionalis untuk yang menolak. Kalangan
agamis ada yang berbasis santri ada yang non santri tetapi memmiliki
kepedulian yang tinggi terhadap Islam.
Kelompok
yang mendukung beralasan bahwa persoalan kemasyarakatan yang berkembang
akhir-akhir ini hanya bias di atasi dengan menerapkan ajaran Islam
secara baik dan holistik. Pandangan semacam ini tidak lagi merupakan
wacana akan tetapi sudah berada di tingkat praksis. Hal ini dapat
dilihat dalam penerapan busana muslim bagi siswa dari SD sampai SMA di
Kabupaten Agam Sumatera Barat, Perda Anti Maksiat seperti penerapan jam
malam bagi perempuan di Depok dan Tangerang, Penerapan wajib pandai baca
tulis Alqur'an bagi calon mempelai di Bulukumba Sulawesi Selatan dan
daerah-daerah lainnya.[2]
Keinginan
dalam menerapkan ajaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi
kelompok yang mendukung diperkuat dengan beberapa alasan historis yang
sudah muncul sejak lama. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah:
Pertama,
pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) yang dilakukan menjelang kemerdekaan Indonesia, selalu
dibumbui perdebatan alot antara kaum nasionalis dengan wakil Islam
tentang ketentuan memasukkan tambahan tujuh kata di sila pertama dari
Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari’at
Islam bagi pemeluknya sebagaimana tercantum di Jakarta Chapter atau
lebih di kenal dengan Piagam Jakarta.
Kedua,
pada sidang konstituante. Dalam torehan sejarah yang terjadi
pascapemilu tahun 1955 itu, terjadi tarik-menarik antara kelompok
nasionalis dengan kelompok Islam. Tema perdebatan juga sama yakni pro
dan kontra seputar keinginan menjadikan syari’at Islam diterapkan
sebagai bagian dari hukum Indonesia. Tetapi karena beberapakali
deadlock, dan tidak jadinya rumusan negara membuat Sukarno mengambil
alih konstituante sehingga lahir Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Maka,
perjuangan umat Islam itupun kandas lagi.
Ketiga,
seiring lamanya kendali Orde Baru yang menabukan aspirasi, nuansa untuk
menerapkan syari’at pun surut, meski tidak pernah pudar di otak para
umat Islam. Berubahnya zaman, dan adanya reformasi, membuat keinginan
untuk mengamandeman undang-undang dasar dan memasukkan tujuh kata itu
pun muncul lagi. Ditengah sidang-sidang amandemen UUD 1945 beberapa
waktu lalu, beberapa kelompok Islam mencoba menghembuskan Piagam
Jakarta.[3]
Kelompok
yang mendukung ini ada dua, yaitu : mendukung secara simbolistis dan
mendukung secara substansialis. Pendukung Perda Syari'ah simbolistis
ingin aturan ini lebih kongkrit dan tegas memakai simbol syari'ah atau
Islam, termasuk pemberian nama peraturan ini dengan Perda Syari'ah.
Setidaknya inilah yang diperlihatkan oleh Komite Persiapan Penegakan
Syari'at Islam (KPSI) di Sumatera Barat.
Pandangan
yang substansialis maksudnya adalah yang ingin melihat nilai-nilai
syari'ah terdapat dalam berbagai peraturan dan perundang-undangan di
Indonesia, walaupun tidak menyebutkan symbol atau label syari'ah. KH.
Ma'ruf Amin dari MUI nampaknya lebih cendrung berpandangan substansialis
ini. Beliau mengatakan, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) menegaskan bahwa hingga kini di Indonesia tidak pernah
ada peraturan daerah (perda) syariah, seperti yang ditakuti beberapa
pihak yang tidak mengerti tentang apa itu syariah. "Yang ada adalah
peraturan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai syariah, dan itu untuk
kebaikan masyarakat, dan telah disetujui oleh banyak partai yang
menjadi wakil rakyat," ujarnya dalam pernyataan bersama MUI-Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas). Menurut dia, setelah diterbitkannya
peraturan-peraturan yang disebut sebagai perda anti-maksiat itu, angka
kriminalitas di beberapa daerah cenderung menurun. Ma`ruf menyatakan,
tidak ada pertentangan di antara perda-perda yang menjadi polemik di
berbagai media massa tersebut dengan peraturan di atasnya, apalagi
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. "Saya justru
melihat adanya upaya membenturkan, bahkan menjauhkan Pancasila dengan
nilai-nilai agama, seperti terlihat dari adanya penolakan, keberatan dan
protes tentang Perda yang di dalamnya terkandung nilai anti-maksiat,"[4].
Menurut hemat saya sikap MUI yang direpsentasikan oleh KH. Ma'ruf Amin
ini sangat diplomatis, terutama dalam menjaga atau meminimalisir
kontroversial masalah Perda Syari'ah di Indonesia sekarang ini.
Kelompok
yang menolak seperti dipertunjukkan oleh 56 orang anggota DPR RI,
dimana mereka mengirim surat kepada Ketua DPR untuk segera menyurati
Presiden menanggapi Perda Syari'ah ini.[5]
Ada
juga yang mengkritisi pemberlakuan Perda syari'at ini akan semakin
mempersempit ruang gerak kaum perempuan yang selama ini sudah mulai
terbuka. Pendapat ini merujuk pada pengalaman sejarah yang mengungkap
dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan. Mereka merujuk padangan
Amina Wadud Muhsin yang menyatakan, dalam teori sosial politik
konvensional, perempuan tetap menjadi warga kelas kedua karena mereka
tidak memiliki hak untuk menentukan nasib diri sendiri. Menurut
Amina, syari'at telah membuat satu situasi di mana muslim laki-laki
selalu berusaha untuk mendominasi perempuan dan mereka menikmati
monopoli kekuatan politik tersebut.[6]
D. Akar Kontroversial
Kontroversial
dalam menanggapi Perda Syari'ah bukanlah suatu sikap yang muncul
belakangan ini secara tiba-tiba, akan tetapi sudah memiliki akar
kebelakang. Ada beberapa fenomena yang dapat dilihat untuk menelusuri
akar kontroversial ini. Uraian berikut ini akan mencoba melihat akar
kontroversial tersebut:
1. Perbedaan Pandangan dalam Melihat Islam
Perbedaan
padangan dalam melihat Islam berimplikasi terhadap penerimaan atas
keberadaan Perda syari'ah. Ada yang memandang Islam sebagai sistem
kehidupan dan ada pula yang melihat semata-mata sebagai agama, sama
dengan agama-agama lain, baik agama samawi maupun agama kebudayaan.
Bagi
yang memandang Islam merupakan sistem kehidupan bependapat bahwa hidup
ini diatur oleh satu-satunya sumber yaitu ajaran Islam (Alqur'an dan
Sunnah), karena ajarannya bersifat komprehensif, universal dan
terintegrasi dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Pandangan ini kemudian
memperkuat alasannya dengan:
a. QS 3:19; Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
b. QS 2:208; Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
c. QS 3:85; Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi.
Dalam
pandangan ini Perda Syari'ah merupakan bagian dari upaya merealisasikan
Islam dalam kehidupan kehidupan duniawi. Dalam kajian politik Islam hal
ini disebut dengan siyasah syar'iyyah, yaitu upaya menjalankan atau menegakkan ajaran Islam dalam tatanan kehidupan bernegara.
Kelompok
yang melihat Islam secara komprehensif ini, pada satu sisi terbelah
pula menjadi dua aliran, yaitu: tekstualis dan kontekstualis. Aliran
tekstualis ingin menerapkan Islam seperti apa adanya dalam teks-teks
syari'ah tanpa banyak melibatkan pemikiran. Sedangkan aliran
kontekstualis tidak terpaku pada teks-teks syari'ah secara kaku, tapi
mencoba memahami historis dan konteks dimana teks itu diturunkan. Peran
pemikiran dalam hal ini tidak dapat dihindarkan. Sehingga lewat
pemikiran ini terjadi perubahan hukum seiring dengan perubahan
masyarakat.
Pada
sisi lain kelompok yang melihat Islam secara komprehensif terbelah pula
menjadi aliran simbolistis/formalistis dan substasialis. Aliran
simbolistis atau formalistis menginginkan Perda Syari'ah
diimplementasikan dengan nama yang kental bernuansa Islama, sebagaimana
nama yang telah populer sekarang. Nama ini pulalah yang membedakan
antara peraturan yang semata-mata buatan manusia dengan peraturan yang
bersumber dari wahyu. Bila perlu seluruh peraturan yang ada di Negara ini disetting dengan nama syari'ah.
Bagi
aliran substansialis persoalan nama tidak begitu penting. Yang
diperlukan adalah bagaimana aturan hukum Islam itu memasuki berbagai
wilayah kehidupan tanpa menyebutnya sebagai hukum Islam/syari'ah atau
nama lain yang seirama dengan itu.
Lebih
dari itu, aliran substansialis ada yang berani berspekulasi dengan
penafsiran yang lebih bebas dan terbuka tanpa terikat pada penafsiran
hukum Islam zaman lampau. Mereka beorientasi ke depan,
bukan setback ke zaman klasik atau zaman lain sebelumnya. Kritik tidak
hanya ditujukan pada penafsiran, tetapi juga pada teks-teks wahyu dan
Hadis Nabi melalui metode heurmanetika, sebagaimana yang dilakukan
terhadap injil oleh intelektual agama kristiani.
Bagi
yang memandang Islam sebagai agama semata, Islam hanya mengatur
persoalan ritual dan spiritual. Dalam pandangan ini Islam sama dengan
agama-agama lain, baik agama samawi maupun agama kebudayaan, yang hanya
dapat dilihat pada wilayah kepercayaan (trush), peribadatan (ritual),
kerohanian (spiritual), upacara-upacara keagamaan (seremonial).
Pandangan ini lebih menekankan agama dari sudut pandang sosiologis.
Sehingga ajaran Islam tidak dapat mengintervensi urusan Negara dan
kekuasaan. Pandangan inilah yang kemudian disebut sekuler, yaitu
memisahkan antara agama dan Negara. Di Indonesia, walaupun ada yang
mencoba bersikap sekuler, namun kelompok ini tidak begitu berpengaruh,
karena Negara bukan Negara sekuler. Akan tetapi di Eropa sebelum
reformasi, gereja mempunyai hak membentuk untuk
undang-undang, di samping itu Negara juga mempunyai hak yang sama,
sehingga tedapat dua macam pemerintahan, yaitu pemerintahan duniawi dan
pemerintahan rohani. Namun setelah reformasi keadaan tersebut berubah.
Pemerintahan rohani lenyap, sehingga yang berhak membentuk hukum
hanyalah Negara atau kekuasaan duniawi.[7] Politik inilah yang kemudian melahirkan sekularisasi hukum.
2. Problem Sumber Hukum
Dalam
literatur ilmu hukum yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang,
kebiasaan, traktat, yurisprodensi, pendapat ahli dan doktrin.
Konsekuensi dari teori ini menjadikan bahan-bahan lain tidak dapat
dijadikan sumber hukum, termasuk sumber-sumber ajaran agama dan dan atau
pendapat ahli hukum agama yang di dalam Islam disebut
ijtihad ulama atau fukaha. Walaupun salah satu sumber hukum itu pendapat
ahli, akan tetapi yang dimaksud di sini adalah ahli hukum sekuler atau
ahli hukum Barat. Oleh karenanya ketika berbicara hukum dalam konteks
kehidupan bermasyarakat, hukum agama selalu terabaikan bilamana
berhadapan dengan hukum Negara. Dan ketika hendak memproduk hukum dalam
lembaga legislasi literatur-literatur keagamaan hampir tidak pernah
dirujuk. Seakan-akan literatur ini tidak dapat dijadikan bahan
pertimbangan pembuat hukum. Kalau pun literatur ini diajukan terkesan
hendak melakukan intervensi agama terhadap Negara. Di sinilah sebabnya
kenapa tidak diterimanya Perda Syari'ah oleh sebagian kalangan. Perda
Syari'ah bersumber dari ajaran agama atau pendapat ahli agama, sedangkan
hukum tidak mengenal sumber tersebut.
Sebenarnya
upaya untuk mencairkan konflik antara agama dan hukum ini telah
dilakukan oleh beberapa ahli hukum di Indonesia seperti Hazairin, Daud
Ali[8]
dan beberapa ahli hukum lainnya yang berwawasan keagamaan, namun belum
banyak pengaruh terhadap konsep hukum yang hampir dikatakan telah mapan
di Indonesia.
3. Studi Hukum Islam yang Bersifat Teoritis
Di
berbagai lembaga pendidikan agama di Indonesia studi hukum Islam boleh
dikatakan bersifat teoritis. Hukum Islam yang dipelajari tidak banyak
ditemukan dalam realita kehidupan, kecuali yang menyangkut hukum-hukum
ibadah secara khusus seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Akan tetapi
dalam bidang mu'amalah sulit ditemukan realita hukum Islam seperti
bidang kewarisan, ekonomi, politik, pidana, dan lain-lain sebagainya.
Sehingga studi hukum Islam cendrung hanya untuk memenuhi keperluan ujian
peserta didik, baik di kalangan siswa maupun mahasiswa.
Sebenarnya
sudah ada beberapa peraturan yang berhubungan dengan hukum Islam
seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pengelolaan Zakat dan UU
Wakaf, namun masih bersifat parsial, berkisar pada sebagian masalah
keperdataan yang ruang lingkupnya pun sangat terbatas. Di samping itu
bila diikuti perdebatan seputar kelahiran undang-undang ini dapat pula
memberikan kontribusi untuk mempertajam kotroverisial kelahiran Perda
Syari'ah, karena perjuangan untuk meloloskan UU tersebut sangat alot.
Dampak
langsung dari studi hukum Islam yang bersifat teoritis ini terhadap
kontroversi Perda Syari'ah adalah seakan teori atau konsep hukum Islam
bukan untuk kontribusi hukum positif. Ditambah lagi studi hukum Islam
tidak diiringi dengan studi penerapan hukum (taqnin). Studi hukum Islam berhenti pada tataran syari'ah dan fiqh, tidak melangkah selangkah lagi ke qanun (Undang-undang).
4. Kontroversi Kelompok Agamis dan Nasionalis
Kontroversi
antara kelompok agamis dan nasionalis sudah berlangsung sejak lama,
mulai sejak merumuskan dasar Negara. Kelompok agama diwakili oleh mereka
yang berlatar belakang pendidikan santri, baik dari pendidikan dasar
sampai pendidikan tinggi atau hanya pada jenjang pendidikan tertentu.
Sedangkan kalangan nasionalis diwakili oleh meraka yang berlatar
belakang pendidikan Barat atau pendidikan umum. Walaupun akhir-akhir ini
dinding pembatas yang berpedidikan santri dan pendidikan umum sudah ada
yang mencair, akan tetapi pandangan kelompok agamis dan nasionalis
tetap saja masih kental di kalangan para pengamat. Bahkan di
kalangan praktisi politik pun hal ini sangat kelihatan. Kalangan agama
mendirikan partai-partai politik yang berlabel agama sedangkan kalangan
nasionalis menanggalkan label-label kegamaan dari partai mereka.
Sebagaimana
telah disinggung di atas, kelompok agamis dan nasionalis berbeda dalam
melihat keberadaan Perda Syari'ah. Kalangan nasionalis tidak
menginginkan adanya simbol-simbol keagamaan, sedangkan kalangan agamis
tidak bisa melepaskan agama dari kehidupan mereka, apakah secara
simbolis atau secara substansialis.
5. Kontroversi Muslim dan non Muslim
Di
Indonesia walaupun kalangan non muslim secara kuantitas jauh lebih
kecil dibanding kalangan muslim, namun dalam mengemukakan pandangan dan
komentar serta pengambilan kebijakan atau keputusan cukup berpengaruh,
baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Sehingga tidak jarang
terjadi perdebatan yang sangat alot dalam melahir suatu produk hukum,
bila rancangannya bermuatan keagamaan.
Di
samping itu isu-isu pemurtadan pemeluk agama juga semakin santer,
sehingga masing-masing agama mengkhawatirkan akan adanya intervensi
agama ke dalam pemerintahan, karena hal ini dapat dirasakan tidak adil
bagi kalangan minoritas.
Dalam
menyikapi Perda Syari'ah, kalangan muslim dan non muslim akan sulit
dipertemukan duduk satu meja untuk menyatukan pendapat. Sehingga yang
muncul adalah kecurigaan dominasi salah satu agama dalam Negara.
E. Kesimpulan
Menurut
hemat penulis sulit untuk mengakhiri perbedaan dan perdebatan seputar
keberadaan Perda Syari'ah di Indonesia, karena perbedaan tersebut
terletak pada akar permasalahan sebagaimana dijelaskan di atas yang
hingga hari ini belum bisa dan mungkin tidak bisa dieliminir. Oleh
karenanya solusi hanya dapat dilakukan pada tingkat politik atau
kekuasaan serta dukungan mayoritas masyarakat melalui demokrasi. Melalui
cara ini keputusan dapat diambil secara demokratis yang mana kelompok
yang tidak setuju harus legowo dalam menerima kenyataan atau keputusan
yang diambil.
Semoga tulisan yang sederhana ini bermanfaat, wallahu a'lam bishshawab.
No comments:
Post a Comment
Jadilah anda yang pertama