Friday, December 10, 2010

Ceritera dari Djokja 21 Tahun Silam

Di pinggiran sebuah kota kecil, di unjung jalan terhampar sebuah pekarangan  yang cukup luas namun sedikit tak terawat disitu berdirilah sebuah bangunan. Meskipun masih pada kawasan kota bangunan itu kelihatan terpisah dari bangunan lain, bahkan hampir tak ada bangunan lagi yang berdiri diselilingnya, sehingga tampak sepi, angker, sungguh menakutkan, cukup untuk  membuat bulu kuduk kita berdiri menahan rasa takut. Tapi adakah yang mendiami bangunan itu?



Didalam situ tinggalah seorang kakek tua renta tanpa ditemani sipapun atau tak ada seorangpun yang peduli terhadapnya. Dia tengah duduk termangu di ruang belakang sambil meneguk secangkir kopi yang ia bikin sendiri sebelum melakukan pekerjaan yang ditekuninya sepanjang pagi sampai sore hari nanti. Ya hanya secangkir kopi saja. Tak ada lagi makanan kecil  yang dapat menemani kopi pahit itu.  Gula yang biasanya ia simpanpun  memang sudah habis sejak beberapa hari yang lalu.
Benar ternyata kakek tua itu adalah sebatangkara sejak masih usia remaja sudah ditinggal kedua orangtuanya, entah apa penyebabnya yang akhirnya dia memutuskan untuk tidak menikah seumur hidupnya. Entah kenapa pula tak satu temanpun yang peduli, mungkin karena tua renta inilah yang suka menyendiri, mengucilkan diri hingga teman-teman sewaktu muda enggan bergaul dengannya.
Belum selesai minum kopi itu, karena tak lagi terasa manis situa renta bergegas keluar rumah, seperti biasanya dia selalu keluar masuk lewat pintu belakang kemudian menembus pagar dinding pembatas pekarangan. Dengan sedikit batuk dan jalan terbungkuk, sebuah tongkat melekat erat teman setia sepanjang sisa hidupnya.
Siang itu tak seperti biasanya, setelah berkeliling dari pagi sampai siang tua renta itu nampak letih sekali, lapar dan dahaga kian terasa sementara recehan yang semestinya dapat untuk mengurangi rasa itu belum kunjung datang. Betapa kurang beruntungan situ renta hari itu, setelah istirahat dirasa cukup kembali berkeliling dari pintu ke pintu untuk mendapatkan belas kasihan demi menyambung nyawa.
Kali ini dia menghampiri rumah bagus berwarna putih, dengan pagar keliling yang sangat elok menambah suasana rumah menjadi kian asri dan megah namun ada rasa angker pada bangunan itu. Kakek tua membentu-benturkan kunci gerbang itu pada besi pengait pintu sambil berteriak. “Sodakoh den..... sodakoh den....... sudah sejak pagi belum makan den ......”  begitu pintanya. Lama tak ada jawaban dari dalam rumah itu. Situapun coba sekali lagi teriak meminta-minta, namun tetap saja tak ada jawaban.
Kakek tua itu mencoba untuk lebih dekat lagi dengan mencoba membuka gerbang itu, benar juga ternyata gerbang tak terkunci, sehingga dengan leluasa bisa masuk halaman rumah lalu mendekati pintu depan rumah. Dengan mengetuk pintu kembali sang kakek bersuara “Sodakoh den..... sodakoh dennnnnn....... sudah seharian belum makan dennnn ......”  begitu rintihnya.  Kali inipun sama tak ada isyarat jawaban dari dalam.
Tak mengenal menyerah untuk yang kesekian kalinya dicobanya lagi “Sodakoh den..... sodakoh dennnnnn....... sudah  dua hari belum makan dennnn ...... sungguh den”, belun juga ada jawaban. Lalu dicobanya lagi “Dennnnnn minta sedekah dennnn kakek sudah tiga hari belum makan dennnnn” usahanya masih saja sia-sia.
Sang kakek pun mengeluarkan jurus terakhirnya, kali ini sang kakek yakin bahwa ini adalah senjata pamungkas yang akan menghasilkan.  “Dennnnnn........ minta sedekah dennnn.... tolong kakek den ...... sudah tujuh  hari belum makan dennnnn kasihanilah den......... dennnnnn........ minta sedekah dennnn.... tolong kakek den ...... sudah satu bulan belum makan dennnnn kasihanilah den.........den ... “ Jurus pamungkas sang kakek kali inipun tidak mendatangkan hasil, tak ada jawaban dari dalam rumah, mungkin rumah itu kosong, karena tuan rumahnya sedang pergi.
Karena tak kuasa menahan lapar kakek mencoba menerobos pintu rumah itu, lagi-lagi pintu tidak terkunci. Masuklah sang kakek dengan mata yang sudah mulai berkunang-kunang dipaksakan untuk bisa menemuan makanan di dalam rumah itu. Tak menemukan sesuatu di ruang tamu  lalu menuju ruang tengah. Dengan sisa-sisa penglihatan yang kian kabur dicobanya kembali mencari diruang yang cukup luas ini. Tak ada juga pikirnya.
Selanjutnya masuklah ke dapur, inilah tempat yang dipastikan terdapat makanan atau minuman. Disinilah kakek mendapati setengah gelas kopi pahit, lalu diminumnya. Beberapa saat setelah minum, penglihatan sedikit demi sedikit kembali normal. Setelah benar-benar normal, kakek merasa ada yang aneh di dalam dapur itu, dapur itu sama persis dengan dapur yang ia tinggalkan di pagi hari tadi. “Astaga ....... ternyata setengah cangkir kopi pahit tadi adalah sisa kopi tadi pagi”  sang kakek baru sadar.
Itulah cerita yang pernah saya dengarkan 21 tahun silam melalui siaran stasiun  radio swasta di Djokja.  Salam buat teman teman baik yang masih tinggal di Djokja atau dimana saja kalian sekarang berada.

No comments:

Post a Comment

Jadilah anda yang pertama

Berita Terbaru