OLEH: ARIEF TURATNO
GARA-gara kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, pegawai negeri sipil (PNS) Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan golongan IIIA yang mengemplang uang miliar rupiah, orang rebut mempersoalkan remunerasi. Ada yang mengusulkan supaya remunerasi ditinjau ulang, ada pula yang menghendaki agar tetap dilanjutkan. Persoalan dan pertanyaannya adalah apakah remunerasi itu diperlukan?
Ini bukan kisah atau ceritera bohongan. Ini kejadian sesungguhnya yang terjadi di Brebes, Jawa Tengah (Jateng), seorang guru salah satu SMA yang merangkap menjadi tukang ojeg. Dan hal yang sama juga terjadi di Kota Tegal, Jateng seorang PNS yang nyambi jadi abang becak. Di Bekasi, Jawa Barat (Jabar), juga banyak PNS golongan II yang setiap sore dan malam hari merangkap menjadi tukang ojeg.
Semua itu dilakukan untuk menutup kebutuhan hidup sehari-hari. Sebab gaji sebagai PNS, baik guru maupun PNS di Pemda tidak pernah mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Daripada korupsi atau mencuri, maka mereka mencari pendapatan lain secara halal dengan menjadi abang becak, pengamen atau tukang ojeg. Dan itu tidak hanya terjadi di Brebes, Tegal, Bekasi atau lainnya, tetapi terjadi dimana-mana di Indonesia