Saya pernah menjadi orang kalah. Bukan kekalahan besar, tetapi sekadar kekalahan dalam lomba vokal grup di sekolah. Tapi karena main gitar masih menjadi sisi penting hidup saya, maka seluruh dunia ini rasanya tak ada yang lebih penting dari gitar. Jadi cukup hanya dengan kalah lomba vokal saya merasa dunia otomatis runtuh. Butuh berhari-hari bagi saya untuk berani keluar kamar kost dengan tenang. Rambut saya cukur plontos, kuku jari saya potongi dan dua hari saya membolos. Untuk apa semua ini? Untuk marah dan protes pada keadaan.
Sementara keadaan yang saya protes itu ternyata tak menggubris protes saya. Matahari tetap muncul dan tenggelam seperti biasa. Hanya karena saya sedang sedih misalnya, matahari juga tidak otomatis mengucapkan belasungkawa, ntuk mau sejenak terbit terbalik muncul dari barat dan tenggelam di timur. Ketika ini benar-benar terjadi tentu saya akan merasa gembira dan ditemani. Saat seluruh penduduk dunia kaget, mereka pasti bertanya-tanya, ada apa ini? ‘'Ooo ini ada orang yang tinggal di sebuah kampung di ujung kota Semarang sana, namanya Prie GS sedang murung karena kalah lomba vokal grup!''
Betapa senang kalau hal itu benar-benar terjadi. Tapi nyatanya tidak. Tak peduli apakah saya memangkas rambut atau sekalian memotong kepala karena kekalahan itu bakul-bakul di pasar tetap berjualan seperti biasa. Mereka sama sekali tidak pernah tahu kekalahan saya. Jangankan cuma kalah lomba, sekalipun vokal grup itu tidak pernah ada di dunia, apa peduli mereka. Pendek kata, sebetulnya tidak ada yang peduli dengan urusan kita, termasuk kekalahan, kemarahan, kejengkelan, kedengkian kita, kecuali diri kita sendiri. Kita terlalu serius pada urusan diri sendiri sementara orang lain juga pasti terlalu sibuk dengan urusan mereka. Maka menyangka bahwa mereka sibuk mengurus urusan kita termasuk kekalahan kita adalah sebuah kekeliruan. Tetapi keliru prasangka itulah yang diteruskan hingga hari ini.
Jika sebuah partai kalah , atau seorang caleg gagal misalnya, langit memang terasa runtuh. Tapi langit yang runtuh itu pasti cuma mereka. Langit yang asli masih baik-baik saja. Mereka merasa orang di seluruh dunia tengah menyorakinya. Padahal tidak. Jangankan untuk menyoraki, untuk menghafal nama-nama mereka saja warga dunia ini tak punya waktu. Tapi karena mereka menyangka kita semua ini tengah gembira melihat si kalah itu kecewa dan malu, tergeraklah si kekalahan itu untuk menyalahkan daftar pemilih bermasalah, mengobrak-abrik Kantor KPU sampai hendak memboikot hasil pemilu.
Padahal yang menyoraki kekalahan itu tidak ada. Kalau pun ada jumlahnya paling sedikit saja. Penyorak terbesar pasti diri kita sendiri. Untuk itulah kenapa kita butuh menyalahkan dunia seisinya untuk sakit hati atas kekalahan ini. Ketika saya kalah lomba itu, tak pernah terlintas sekalipun di pikiran saya untuk menyalahkan diri sendiri, untuk mengakui kemenangan lawan dan untuk menghargai keputusan dewan juri. Ketika saya sedang kalah itu yang muncul adalah tudingan yang seluruhnya mengarah ke pihak lain. Itu juri pasti kena suap, itu si pemenang pasti cuma beruntung, atau itu penontonnya pasti goblok semua. Sama sekali tak peanh saya pikir bahwa kekalahan saya itu karena mutu permainan gitar saya yang jelek dan lagu saya yang buruk mutunya. Jika partai saya kalah dan saya adalah caleg gagal, sulit untuk menghentikan sumber kekalahan itu cukup di satu soal saja: yakni karena saya memang benar-benar tak disukai massa. Menjadi kalah adalah saatnya untuk mengada-ada. Namanya juga mengada-ada, ia pasti mengadakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
Prie GS
http://www.andrewho-uol.com/articles.html
No comments:
Post a Comment
Jadilah anda yang pertama