Betapa nikmatnya bertafakur di bulan Ramadan. Apalagi bersama sejumlah pemikir Islam, yang tulisan-tulisannya tertuang di kolom Tafakur Jawa Pos ini. Kita memperoleh banyak hikmah dan pencerahan, serta arah yang jelas dalam menjalankan agama dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa ada beberapa perbedaan diantara buah pikiran tersebut, itu menjadi keniscayaan. Tetapi, justru disitulah Allah menaburkan hikmah dan rahmat-Nya.
Saya terkesan dengan tulisan Pak Said Aqil Siroj, ketua umum PBNU, kemarin, tentang perlunya umat Islam kembali kepada substansi ibadah puasa. Bahwa bulan suci ini harus dimaknai sebagai bulan perjuangan (syahrul jihad), bulan bertafakur (syahrul ijtihad), dan bulan berspiritual (syahrul mujahadah). Ini sungguh cocok dengan kolom Tafakur yang digagas Jawa Pos.
Maka sejak pertama tulisan saya dimuat di kolom ini, saya sudah berniat untuk mengajak pembaca Jawa Pos melakukan tafakur dan ijtihad dalam mencari solusi atas ‘masalah tahunan’ umat Islam dalam menyongsong Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. Meskipun, sebagian kita berpendapat bahwa masalah ini adalah ‘masalah kecil’ yang tidak perlu dibesar-besarkan. Tapi, saya justru melihatnya sebagai masalah yang memprihatinkan, sebagaimana disuarakan oleh jutaan umat Islam Indonesia secara diam-diam.
Saya khawatir, anggapan bahwa ini adalah hal kecil yang remeh temeh itu dikarenakan kita sudah ‘terbiasa’ menghadapinya selama bertahun-tahun. Sehingga hal yang menurut saya sangat serius ini kita anggap sebagai masalah kecil. Salah satu pengalaman yang membuat saya prihatin dan bahkan merasa malu, adalah ketika saya bermukim di Mesir ditertawai oleh sejumlah kalangan umat Islam disana.
Mereka merasa ‘aneh bin ajaib’ dengan adanya perbedaan awal waktu ibadah di Indonesia. Baik Ramadan, Syawal, maupun Dzulhijjah, sebagaimana telah saya bahas dalam tulisan-tulisan terdahulu. Menurut mereka, mestinya hal itu tidak perlu terjadi. Rasa keumatan dan kebangsaan saya tersinggung, karena mereka menyebut-nyebut umat Islam Indonesia tidak mampu menyelesaikan ‘masalah kecil’ itu. Apalagi yang lebih besar.
Maka, dalam rangka menjembatani perbedaan ini, saya mengajukan usul yang oleh kawan saya dianggap agak aneh, yakni: memisahkan antara astronomi dan fikih dalam menentukan awal ibadah. Saya meyakini, hal tersebut bisa menjadi jembatan yang sangat berarti untuk mencari titik temu dari persoalan ini. Bahwa penetapan ‘awal bulan’ Ramadan dan ‘awal puasa’ Ramadan itu seharusnya dipisahkan. Hal ini sebenarnya sudah diindikasikan oleh pihak-pihak yang berbeda pendapat.
Di tulisan pak Said Aqil Siroj kemarin misalnya, dikutipkan rujukan kenapa kalangan NU mengambil sikap harus melakukan rukyatul hilal. Yakni, karena ada perintah sebagai berikut: ‘’Berpuasalah kamu berdasar melihat hilal (bulan), dan berlebaranlah kamu berdasar melihat bulan. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah.’’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Tentu kita sangat menghargai rujukan yang bersifat perintah ini. Sebagaimana kita juga menghargai pendapat yang berbeda, yang merujuk kepada perintah ayat Qur’an: ‘’…barangsiapa menyaksikan datangnya bulan (Ramadan), hendaklah dia berpuasa di dalamnya.’’ [QS. Al Baqarah: 185].
Jadi, kedua belah pihak yang berbeda sebenarnya sama-sama berdasar pada perintah. Yang satu berdasar pada perintah hadits, yang lainnya berdasar pada perintah Al Qur’an. Yang satu berpatokan pada hilal alias bulan sabit yang terlihat mata, sedangkan yang lainnya berpatokan pada syahr alias bulan Ramadan yang ditandai oleh fase sesudah ijtima’. Tentu keduanya benar, sebagaimana dikatakan oleh pak Said Aqil Siroj, di tulisan tersebut. Karena itu, sebaiknya kita tidak usah mermpersoalkan fikih ibadah puasa ini lebih jauh.
Yang saya usulkan disini bukan sisi fikihnya, melainkan sisi Ilmu Falak alias Astronominya. Karena, secara astronomis, acuannya sangat jelas dan bisa dicek langsung di lapangan oleh seluruh penduduk Bumi. Sehingga mestinya tidak terjadi perbedaan. Baik yang muslim maupun yang bukan. Bahwa, Bulan itu memiliki fase-fase yang berbeda, diantaranya ada ‘bulan tua’ dan ‘bulan muda’. Pakar Ilmu Falak dari pihak-pihak yang berbeda pendapat sudah sama-sama mumpuni dalam hal ini, dan terbukti bisa memperoleh kesimpulan yang sama dalam menghitung ijtimak akhir Syakban: Kamis, 19 Juli 2012, sekitar pk.11.25 wib.
Maka, sebenarnya semua sudah tahu, bahwa setelah ijtimak alias konjungsi pastilah datang fase ‘bulan baru’, yakni bulan Ramadan. Penandanya, diantaranya adalah pada lengkungan bulan sabitnya. Pada ‘bulan tua’, lengkungan sabitnya ke arah kanan. Sedangkan pada ‘bulan baru’, lengkungan sabitnya ke arah kiri. Saya yakin, seyakin-yakinnya, tidak ada perbedaan dalam hal ini bagi siapa saja yang mengerti Ilmu Falak.
Perbedaan itu memang bukan pada: sudah masuk atau belum masuknya bulan baru Ramadan, melainkan pada: kapan harus memulai puasa. Bagi yang mendasarkan awal puasanya dengan melihathilal secara kasat mata, adalah benar untuk memulai puasanya di hari Sabtu, karena rujukan perintahnya memang begitu. Sebaliknya, bagi yang berpegang pada perintah agar berpuasa ketikasyahr Ramadan sudah masuk, juga benar untuk memulai puasanya di hari Jumat, karena rujukannya juga demikian. Ini adalah perbedaan fikih alias khilafiyah yang tak perlu diperlebar lagi.
Sehingga, demi jalan tengah itu, saya lantas mengusulkan, mestinya redaksi penetapan ‘awal puasa’ Ramadan itu berbunyi begini: ‘’Semua pihak yang berkompeten sepakat bahwa bulan Syakban sudah berakhir hari Kamis, 19 Juli 2012, pk. 11.25 wib. Karena itu, Kamis sore ini bulan Ramadan sudah datang. Tetapi karena hilal tidak kelihatan, maka sesuai sunah Rasulullah SAW kita memulai puasa esok lusa, di hari Sabtu.’’. Wallahu a’lam bishshawab.
sumber : klik disini
No comments:
Post a Comment
Jadilah anda yang pertama