Ada dua sumber naskah yang dapat dirujuk untuk mengetahui aspek mitologis dalam masyrakat Dieng, yaitu Babad Dieng dan yang kedua adalah Serat Centhini. Hingga saat ini saya belum berhasil memperoleh naskah pertama. Oleh karena itu dalam paper ini saya hanya akan merujuk pada naskah kedua. Sumber lokal tertua yang mengungkapkan tentang cerita-cerita mistis di sekitar Candi Dieng adalah Serat Centhini, pupuh 83-87. Serat Centhini disusun oleh sebuah tim yang diketua oleh Pangeran Adipati Anom, kelak menjadi Sunan Pakubuwana V, pada awal abad ke 19, kurang lebih pada tahun 1815. Menurut Lombard, penulisan Serat Centhini merupakan upaya dari pihak pusat, kerajaan, untuk merangkul tradisi pinggirian dan memasukkannya ke dalam tradisi Jawa yang besar.
Oleh karena itu Lombard juga menyebutnya sebagai ensiklopedi pengetahuan tentang pinggiran (Denys Lombard, III, 2000: 149).
Oleh karena itu Lombard juga menyebutnya sebagai ensiklopedi pengetahuan tentang pinggiran (Denys Lombard, III, 2000: 149).
Cerita tentang candi Dieng dan mitologi yang mengitarinya muncul dalam adegan pengembaraan Jayengsari bersama adik perempuannya, Rancangkapti, dan pembantunya yang bernama Buras. Dalam empat Pupuh itu Serat Centhini menggambarkan kondisi fisik bangunan-bangunan candi Dieng dan juga tempat-tempat lain yang dianggap keramat bagi masyarakat setempat, seperti, Sumur Jalatunda, kawah Sikidang, Kawah Candradimuka, Tuk Bima Lukar dan sebagainya. Jika serat Centhini benar diselesaikan tahun 1815, maka laporan centhini tentang Dieng sejaman dengan penelitian Candi Dieng pertama yang dilakukan oleh H.C. Cornelius pada tahun 1814. Saat Cornelius melakukan penelitian disebutkan bahwa kondisi Candi Dieng dalam keadaan terendam air dan baru pada tahun 1856 upaya pengeringan dilakukan oleh J. van Kinbergen. Serat centhini tidak menyebutkan bahwa saat itu kondisi candi dalam keadaan terendam, sebaliknya justru mereka dapat melihat seluruh bangunan candi dengan baik. Kemungkinan besar bahwa air yang menggenangi candi sifatnya pasang-surut. Untuk mengetahui lebih jelas tentang kondisi Dieng saat itu, kita ikuti secara ringkas kisah pengembaraan Jayengsari di sekitar wilayah ini.
Dalam perjalanannya menuju Sokayasa Jayengsari, Rancangkapti dan Buras bertemu dengan tetua di Dieng yang bernama, Kenthol Gunawan, yang ternyata sahabat lama dari Ki Hartati orangtua Jayengsari. Selama di Dieng, mereka bertiga diajak jalan-jalan oleh Ki Gunawan ke tempat-tempat keramat di sekitar Dieng. Tempat pertama yang dikunjungi adalah kompleks bangunan candi yang digambarkanya berada di lereng gunung dekat jurang yang terjal. Candi-candi itu adalah Candi Duryudana, Candi Dahyang Durna dan Candi Sangkuni. Setelah itu ia menuju tempat yg rendah dan rata, yaitu kompleks Candi Arjuna. Disebutkan bahwa di tengah-tengah kompleks itu candi itu ada sebuah batu datar persegi halus. Di tengah batu itu berlubang berisi ‘toya marta’ atau air kehidupan yang sangat dingin. Candi yang menghadap ke barat di depan Candi Arjuna disebut Candi Semar. Di sebelah Candi Arjuna Candi Subadra. Di depannya terdapat sebuah lorong yang menurut Ki Gunawan adalah ‘Babahan sang Durnasiwi atau Bambang Aswatama’. Masyarakat Dieng sekarang menyebutnya Gasiran Aswatama (mungkin dari kata Gasir atau Jengkerik, atau lubang Jengkerik). Dari tempat ini kemudian mereka terus ke barat laut dan terlihatlah Candi Puntadewa yang di depannya terdapat dua buah Candi Nakula dan Sadewa. Di selatan Candi Puntadewa terdapat Candi Srikandi. Perjalanan dilanjutkan ke Candi Bhimasunu atau Gatutkaca dan Candi Werkudara (Sekarang Candi Bima) yang merupakan candi terbesar di antara candi-candi lainnya.
Yang menarik di sini munculnya nama-nama candi Duryudana, Candi Sangkuni dan Candi Durna, yang dalam beberapa laporan penelitian arkeologis tidak disebutkan. Kemungkinan besar candi-candi ini sekarang telah hilang seperti juga candi-candi lain seperti Candi Petruk, Candi Nalagareng, dan Candi Antareja yang menurut penelitian arkeologis ditemukan di sekitar kompleks Candi Gatutkaca. Hal lain yang menarik adalah tentang letak Gasiran Aswatama. Di dalam Serat Centhini disebut sebagai Babahan Aswatama, berada persis di depan Candi Subadra, sedangkan jika dilihat sekarang lorong itu berada cukup jauh dari candi. Hal ini tentu mendorong penelitian lebih lanjut.
Setelah selesai melihat candi-candi itu Jayengsari dan rombonganya melanjutkan perjalanan melihat Telaga Warna yang dilukiskan airnya bening berwarna-warni bagai bianglala, putih, merah, biru kuning. Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju Telaga Tus, yang airnya bergitu jernih sehingga dasar telaga itu bisa dilihat dengan jelas. Selanjutnya mengunjungi Telaga Kidang yang airnya mendidih dan terus ke barat laut ke Candi Kresna, yang digambarkan bangunanya sangat indah tapi angker. Setelah itu mereka kembali melihat Lorong Aswatama yang sampai ke Candi Subadra. Sesudah itu mereka menuju Mata Air Bimalukar yang digambarkan airnya begitu dingin, Buras yang mencoba mencuci mukanya dengan air itu merasa terperanjat karena saking dinginnya ia merasa menadah bara api, tangannya terasa kaku.
Perjalanan diteruskan ke barat, mereka melewati arca-arca kecil yg berjajar berkelompok, banyak pepohonan disekitarnya yang mirip pohon kopi tapi buahnya jarang. Ki Gunawan menjelskan bahwa itu adalah Pohon Purwakucila. Buah dari pohon itu bermanfaat untuk penawar bisa ular, kalajengking dan kelabang. Bila ular, kalajengking dan kelabang itu di ungkuli ditaruh diatasnya buah Purwakucila, mereka akan lemas tak berdaya.
Perjalanan berlanjut ke Gunung Pakareman yang diktakan sangat angker. Di tempat itu terdapat sebuah batu datar yang di tengah-tengahnya berserakan tulang burung. Menurut Ki Gunawan, makhluk apapun yang lewat di atas batu itu akan tewas, termasuk burung-burung yang terbang melewati atas batu itu pada jatuh dan mati. Perjalanan dilanjutkan menuju Kawah Candradimuka, sebuah lubang di tengah gunung yang terisi air panas mendidih berbau belerang yang sangat menyengat. Airnya yang kekuningan itu terus mengalir tetapi tak pernah mengering. Perjalanan dilanjutkan menuruni lereng yang tanahnya lunak berair menyatu dengan telaga. Di tempat itu banyak hidup burung belibis, berkelompok di tepi telaga. Di sekitarnya banyak sekali telur belibis, yang tidak ada seorangpun berani mengambil karena tanahnya terlalu lembek, jika diinjak pasti akan terjerembab.
Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Sumur Jalatunda yang diseklilinginya dipagari dengan bambu berbentuk kerucut. Di luar pagar masih rata banyak ditemukan bunga tabur serta pembakaran kemenyan. Menurut Ki Gunawan, setiap malam Anggara Kasih atau Selasa Kliwon, banyak orang yang datang untuk tirakat, ada yang memohon supaya kaya, mendapat derajat, agar dicintai, atau ingin memiliki anak dan ada juga yang memohon kesaktian. Pada sore hari mereka membakar dupa, pada malam harinya menggelindingkan timba bambu diberi pemberat batu bundar besarnya sedang, supaya cepat jalannya timba ke tempat air. Bila keinginnaya terkabul rasanya baru dua depa diturunkan sudah mendapatkan air. Air kemudian diminum saat itu juga atau boleh membawanya pulang asal untuk sarana. Tetapi jika tidak terkabul, sekalipun sudah seribu depa, ditarik keatas tidak akan mendapatkan air. Di dekat Sumur Jalatunda terdapat air mengalir dari puncak gunung tetapi airnya menyimpang jauh, tidak masuk ke sumur.
Setelah mengujungi tempat-tempat itu Jayengsari kembali ke rumah Ki Gunawan dan disana diceritakan tentang sifat-sifat dari tokoh-tokoh utama dalam cerita Mahabarata, dimulai dari Duyudana, Sangkuni, Durna dan tokoh-tokoh Pandawa. Di ceritakan pula tentang istri-istri arjuna dan sifat-sifatnya. Dalam Serat Centhini diceritakan bahwa Ki Gunawan menceritakan sifat-sifat dari tokoh-tokoh mahabarata itu didasarkan pada prasasti yang ditulisan dalam bentuk tulisan atau ”sastra buda” atau Jawa Kuna. Menurut Serat Centhini, di depan setiap candi, yaitu candi Duryudana, Candi durna, Candi Sangkuni, Candi Arjuna, candi Nakula, candi Sadewa, Candi Bima dan Candi Kresna terdapat batu datar persegi yang tersangga ompak (dasar) lung-lungan tumbuhan merambat yang membelit. Di tengah batu datar itu dituliskan tulisan remit atau lembut indah. Tulisan-tulisan yang sebutkan dengan sastra buda itu menggambarkan tentang sifat-sifat dari tokoh-tokoh yang dipakai untuk menamai candi-candi tersebut.
Dari seluruh peninggalan candi yang ada sekarang, batu-batu bertulis di depan candi-candi itu sudah tidak ditemukan lagi. Jika benar apa yang dikemukakan dalam serat Centhini itu, hilangnya batu-batu tulis itu terjadi pada abad ke-19, setelah ekspedisi Jayengsari. Saya sendiri tidak memperoleh sumber tentang laporan penelitian yang di lakukan oleh Cornelius pada tahun 1814 itu. Oleh karena itu, perlu dilihat kembali apakah batu-batu tulis itu masih ada saat Cornelius melakukan meneliti. Informasi dalam serat centhini ini tentu menjadi data yang berharga untuk melacak keberadaan batu-batu tulis itu, sekaligus mengecek kebenarannya apakah isi tulisan itu pengggabaran sifat2 tokoh wayang atau memuat informasi lain tentang candi-candi itu.
Pengembaraan Jayengsari bersama Rancangkapti dan buras diakhiri dengan berziarah ke Sumur Jalatunda. Dalam pupuh 86, bait 88-91 diceritakan:
Ki Gunawan telah menyediakan gayung bambu dan obor daun kelapa. Setelah semua siap, mereka berangkat, masing-masih membawa obor. Setelah tiba di Jalatunda, mereka berdua (Jayengsari dan Rancangkapti) segera menjatuhkan gayung ke dalam sumur. Tidak perlu mengulur talinya. Sumurnya keliatan penuh air, rasanya tinggal mencedok saja. Dua bumbung penuh air mereka berikan kepada Ki Gunawan, yang sangat kagum, katanya, ”Ananda , benar-benar mendapat. Silahkan menimumnya. Dengan minuman itu biasanya lalu tahan dingin dan tercapai segala hajatnya.” Maka mereka berdua pun segera minum, masing-masing satu bumbung. Ketika hampir habis, Ki Buras berkata:, ”Saya minta sisanya supaya berhenti kedinginan.” Kedua bumbung itu diberian kepada Buras, diterima lalu diminum, sambil berkata keras-keras: ”Astaga tidak bohong, menjadi hangat tubuh saya serta terang hati saya”. (Ngabehi Ranggasutrasna, I, 1991: 313).
Dari urain Serat Centhini dapat diinterpretasikan bahwa, pembangunan candi-candi di Dieng dimaksudkan sebagai monumen moral yang mengajarkan sembilan sifat atau perilaku manusia yang diwakili dari tokoh-tokoh yang ada dalam Epik Mahabarata. Atau paling tidak dari tradisi lisan yang diwariskan dari generasi-ke generasi, masyarakat Dieng pada awal abad ke 19 memaknai pembangunan candi seperti itu. Dalam Serat Centhini dijelaskan bahwa ke sembilan sifat itu dikategorikan dalam nistha-madya-utama (hina, sedang dan baik), sebagai teladan hidup yang selaras dengan jaman dahulu dan dapat diterapkan pada jaman sekarang (abad-ke19). Percakapan ini dapat memperjelas interpretasi ini:
Raden Jayengsari berkata, “Anaknda sangat berterima kasih, karena Bapak berkenan menguraikan segala yang termuat dalam tulisan “Buda” yang tertera pada batu. Adapun perkataanya, apakah berwujud bahasa biasa?”. Ki Gunawan berkata perlahan-lahan, “Anaknda, perkataanya dalam bahasa biasa”. Raden Jayengsari berkata dalam hati, “Apakah orang ini kiranya pujangga?”, Akhirnya berkata lagi, “Adapun makna watak itu, apa maksudnya Korawa dan Pandawa berjumah sembilan?”, Ki Gunawan tersenyum manis, manis katanya: “Adapun yang demikian itu, Anaknda, bermaksud agar lestari dipakai sebagai penggugah semangat. Cerita yang luhur diambil, disusun sebagai teladan hidup bagi keturunan para leluhur. Itulah yang diketahui secara turun-temurun”. (Ngabehi Ranggasutrasna, I, 1991: 304).
Catatan:
1814 Situs Dieng diteliti orang Belanda untuk pertama kalinya, 1856, dikeringkan untuk memudahkan penelitian dan pemotretan tinggalan arkeologi, 1911-1916 Melville melakukan penelitian dan pemugaran, 1911-1920an Situs dieng dipromosikan sbg obyek wisata Eropa, 1937 Pemerintah Hindia Belanda Melakukan zonasi yang membagi situs dieng menjadi tiga, yaitu kelompok Dwarawati, Kelompok Arjuna dan Kelompok Bhima. Jajang Agus Sonjaya, Pengelolaan Warisan Budaya Di Dataran Tinggi Dieng: Kajian Lansekap, Sejarah Pengelolaan dan Nilai Penting, Thesis S-2 Studi Arkelologi, UGM 2005,Hal. 78.
sumber : klik disini
belanja belanja mas putu, mbaktu mangkal depan aula
ReplyDeletebagaimana kabar lereng gunung lawe mas?
ReplyDelete