Keimanan adalah level paling dasar dalam menjalani proses beragama. Orang beragama yang tidak beriman bisa dimaknai sebagai belum beragama dalam arti yang sesungguhnya. Barangkali hanya formalitas belaka, semisal hanya Islam KTP dan pakaiannya saja. Berislam dengan cara demikian tentu bukanlah yang dimaksudkan oleh Al Qur’an Al Karim. Karena, ‘Islam’ itu bermakna proses berserah diri hanya kepada Allah Tuhan Semesta Alam.
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk", karena IMAN itu BELUM MASUK ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [QS. Al Hujuraat: 14]
Memang, secara hukum, orang yang sudah bersyahadat mengakui Allah sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai Rasul, sudah bisa disebut sebagai orang Islam. Tetapi, berdasar ayat di atas, keislaman semacam itu belum dianggap cukup oleh Allah. Karena, masih bersifat seremonial dan formalitas belaka. Berislam harus merasuk ke dalam jiwa, menjadi sebuah kepahaman dan berujung pada keyakinan tak tergoyahkan – haqqul yaqin – sebagaimana telah kita bahas pada tulisan sebelumnya.
Keimanan adalah sebuah kepahaman utuh untuk menindak-lanjuti syahadat yang sudah kita ikrarkan. Kebulatan tekad yang dilandasi oleh kesadaran, bukan keterpaksaan. Bahwa bertuhan itu ya hanya kepada Allah. Dan caranya, adalah mengikuti Rasulullah SAW. Tidak ada yang lain. Untuk memperoleh kemantapan iman yang sedemikian itu, butuh proses panjang dalam memahamkannya, sehingga benar-benar mengunjam ke dalam jiwa. Masuk ke dalam relung-relung hati yang paling dalam, sebagaimana diceritakan ayat di atas.
Namun, ketika keimanan itu sudah memasuki sanubari kita, apakah lantas sudah selesai proses berislam kita? Ternyata belum. Berislam tak cukup hanya menjadi beriman. Karena, keimanan ini hanya bersifat internal di dalam diri kita. Keimanan yang kokoh harus diaplikasikan dalam perbuatan nyata, yang selaras dengan nilai-nilainya keimanan itu. Tidaklah cukup, seseorang yang sudah meyakini bahwa kejujuran itu baik, tetapi ia belum menerapkan kejujuran dalam hidupnya. Belum cukup pula, seseorang yang sudah meyakini Allah itu ada, tetapi setiap hari dia seperti tidak sedang bersama Allah.
Seseorang yang sudah mengimani Kebesaran Allah, misalnya, dia tidak akan menjadi sombong dalam kesehariannya. Cara bergaulnya ramah dan rendah hati. Karena, ia sudah memahami betapa kecil dan kerdil dirinya dibandingkan Sang Maha Besar. Demikian pula orang yang sudah mengimani bahwa Allah Maha Pemurah, dengan sendirinya ia akan menjadi seorang yang dermawan kepada sesama, meniru sifat-sifat-Nya. Nilai-nilai keimanannya teraplikasi dalam kehidupan nyata. Inilah yang disebut sebagai Takwa itu.
Jika keimanan bersifat internal dalam jiwa sebagai kepahaman dan komitmen, maka ketakwaan bersifat eksternal dalam bentuk perbuatan alias amal kebajikan. Karena itu, dalam ayat berikut ini Allah mengajari agar keimanan kita dinaikkan kualitasnya menjadi ketakwaan. Sebuah perjuangan untuk menerapkan nilai-nilai keimanan dalam kehidupan nyata, yang diistilahkan sebagai haqqa tuqaatihi –bertakwa kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya.‘’Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya kepada-Nya. Dan janganlah kamu mati, melainkan dalam keadaan berserah diri (kepada Allah).’’ [QS. Ali Imran: 103].
Dan menariknya lagi, ketakwaan yang sudah teraplikasi dalam amal perbuatan itu pun masih harus dilanjutkan lagi menjadi sebuah pengakuan spiritual tentang dominasi Allah dalam segala lini kehidupannya. Sehingga, ayat di atas masih mengimbau agar orang-orang bertakwa menjadi orang yang berserah diri – diistilahkan sebagai muslimun. Walaa tamuutunna illa wa antum muslimuun – janganlah kalian mati kecuali sudah dalam keadaan berserah diri kepada Allah.
Begitulah memang tingkatan kualitas seseorang dalam menjalani agama Islam. Dimulai dari komitmen yang bersifat internal dalam jiwa, diaplikasikan dalam perbuatan nyata sebagai amal kebajikan, dan berakhir dalam pengakuan yang sangat mendalam tentang dominasi Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang menjadi pusat dari segala perjalanan batinnya. Inilah puncak kualitas yang harus kita tuju, sebagaimana telah kita ikrarkan dalam shalat-shalat shalat kita.
‘’Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku. Dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (hanya kepada Allah)". [QS. Al An’aam: 162-163].
Wallahu a’lam bishshawab
sumber : klik disini
No comments:
Post a Comment
Jadilah anda yang pertama