Inilah seri terakhir dari tiga bagian kolom ‘'hujan-hujanan'' yang tidak direncanakan. Menulis kolom ini memang jauh dari perencanaan. Karena ide yang tampaknya cuma sekelebat itu, jika dilebarkan, didalamkam, ditinggikan, bisa seluas cakrawala. Begitu juga menyangkut hujan-hujanan yang sedang ingin saya ceritakan ini. Satu hujan bisa dimasuki lewat seribu perasaan.
Hujan misalnya, bisa mengingatkan kegembiraan saya saat menatap kembali gunung di kampung saya dari keajuhan. Hujan juga mengingatkan kesedihan saya ketika usia SD, saat sudah mulai belajar jatuh cinta dan patah hati. Saya menulis surat cinta untuk seseorang, gagal saya kirim, pertama karena takut. Kedua karena menjelang pengiriman, anak itu ternyata sudah lebih dulu pacaran.
Kesedihan patah hati untuk pertama kali, terjadi tepat di saat hujan dan itu asyik sekali.
Tetapi hujan di umur saya yang hari ini, sudah berhubungan dengan penyakit. Saya sangka pusing di kepala yang mulai rajin berdatangan ini lebih karena saya kelelahan. Maka mumpung hari hujan saya ingin menebusnya untuk istirahat dengan cara tidur berkepanjangan. Tak peduli meskipun bumi teguncang dan langit terbelah, istirahat ini harus diselenggarakan. Tapi bangun dari tidur yang saya sangka hendak mengembalikan kesehatan itu, mata malah berkunang-kunang. Kepala berat sebelah dan leher seperti kemasukan tiang.
Pada saat semacam ini, menatap apa saja terasa sebagai bencana. Tak terkira derita seseorang, ketika bahkan dalam istirahat pun, yang terasa adalah kesengsaraan. Maka di tengah sakit kepala yang dahsyat itu, saya masih memberi kesempatan otak saya berpikir: lho, ternyata ada jenis istirahat yang tidak menyembuhkan. Saya lelah iya, tetapi saya sudah tidur berjam-jam. Tidur ini rasanya lebih dari cukup tapi kenapa sakit ini tak kunjung hilang. Maka pasti ada yang keliru dari rumus istirahat yang sedang saya peragakan ini. Jangan-jangan ada jenis istirahat yang tersimpan tidak cuma dalam tidur. Maksa saya mencoba mencarinya di dalam hujan.
Hari itu badan saya menggigil lebih karena suhu tubuh yang menurun. Kepala berdenyut kencang dan perut mual bahkan begitu mencium bau makanan. Karena tidur sudah bukan jawaban saya meminta izin istri untuk hujan-hujanan saja. Mumpung di lantai atas ada ruang tak beratap dan saya bisa menyambut hujan dengan gaya apa saja. Untuk menyempurnakan ide ini saya mengajak anak-anak untuk menemani bapaknya tentu sambil merayu habis-habisan ibu mereka yang ketakutan. Hasilnya, dengan tubuh menggigil dan kepala berdentuman saya menerobos hujan, berlari-lari, telentang, berguling-guling dan main gulat-gulatan. Jika nafas mulai ngos-ngosan anak-anak saya ajak tidur telentang membiarkan air hujan menghajar apa saja: mulut, hidung, mata, sekujur wajah, sekujur badan... pokoknya inilah hujan-hujanan paling brutal yang pernah saya lalukan.
Kepada anak-anak saya perintahkan untuk membangun bendungan dengan cara menyusun apa saja. Balok-balok bekas, panci rombeng, ember-ember rusak. Apa saja agar ia menampung sebanyak mungkin kubangan. Tetapi setelah bendungan itu meninggi, harus dihancurkan kembali. Kaleng-kaleng itu kami tendangi. Ember-ember itu kami rusak apalagi dasarnya ia memang sudah ember rusak. Setelah bendungan itu hancur kami membangun bendungan lagi setelah bendungan itu jadi kami rusak lagi.
Jika hujan ada tanda-tanda mereda kami saya mengajak anak-anak berdoa agar ia datang lagi. Apalagi mau hujan deras mau tidak toh kota kami kebanjiran juga. Jadi sambil kebanjiran, kenapa kami tidak sekalian berembira. Dan inilah saat anak-anak bisa menikmati hujan secara tak biasa karena langsung dikawal sendiri oleh bapaknya. Begitu penuh saya dan anak-anak menikmati hujan hingga berujung pada kelelahan dan sakit kepala yang berdentuman itu jadi lenyap entah ke mana. Rampung hujan-hujanan kelaparan mendera luar biasa dan saya membujuk anak-anak agar sekeras mungkin merayu ibunya, kalau pelru dengan bersujud di kakinya agar mau membuat mi rebus panas dengan tingkat kepedasan yang tak kalah gilanya.
Woo... istirahat itu ternyata bisa bersembunyi di balik apa saja. Tidak cuma di dalam tidur, tetapi juga di dalam kegaduhan dan hujan, sepanjang di dalamnya terdapat kegembiraan. Jadi hidup yang gembira adalah istirihat yang sesungguhnya!
Hujan misalnya, bisa mengingatkan kegembiraan saya saat menatap kembali gunung di kampung saya dari keajuhan. Hujan juga mengingatkan kesedihan saya ketika usia SD, saat sudah mulai belajar jatuh cinta dan patah hati. Saya menulis surat cinta untuk seseorang, gagal saya kirim, pertama karena takut. Kedua karena menjelang pengiriman, anak itu ternyata sudah lebih dulu pacaran.
Kesedihan patah hati untuk pertama kali, terjadi tepat di saat hujan dan itu asyik sekali.
Tetapi hujan di umur saya yang hari ini, sudah berhubungan dengan penyakit. Saya sangka pusing di kepala yang mulai rajin berdatangan ini lebih karena saya kelelahan. Maka mumpung hari hujan saya ingin menebusnya untuk istirahat dengan cara tidur berkepanjangan. Tak peduli meskipun bumi teguncang dan langit terbelah, istirahat ini harus diselenggarakan. Tapi bangun dari tidur yang saya sangka hendak mengembalikan kesehatan itu, mata malah berkunang-kunang. Kepala berat sebelah dan leher seperti kemasukan tiang.
Pada saat semacam ini, menatap apa saja terasa sebagai bencana. Tak terkira derita seseorang, ketika bahkan dalam istirahat pun, yang terasa adalah kesengsaraan. Maka di tengah sakit kepala yang dahsyat itu, saya masih memberi kesempatan otak saya berpikir: lho, ternyata ada jenis istirahat yang tidak menyembuhkan. Saya lelah iya, tetapi saya sudah tidur berjam-jam. Tidur ini rasanya lebih dari cukup tapi kenapa sakit ini tak kunjung hilang. Maka pasti ada yang keliru dari rumus istirahat yang sedang saya peragakan ini. Jangan-jangan ada jenis istirahat yang tersimpan tidak cuma dalam tidur. Maksa saya mencoba mencarinya di dalam hujan.
Hari itu badan saya menggigil lebih karena suhu tubuh yang menurun. Kepala berdenyut kencang dan perut mual bahkan begitu mencium bau makanan. Karena tidur sudah bukan jawaban saya meminta izin istri untuk hujan-hujanan saja. Mumpung di lantai atas ada ruang tak beratap dan saya bisa menyambut hujan dengan gaya apa saja. Untuk menyempurnakan ide ini saya mengajak anak-anak untuk menemani bapaknya tentu sambil merayu habis-habisan ibu mereka yang ketakutan. Hasilnya, dengan tubuh menggigil dan kepala berdentuman saya menerobos hujan, berlari-lari, telentang, berguling-guling dan main gulat-gulatan. Jika nafas mulai ngos-ngosan anak-anak saya ajak tidur telentang membiarkan air hujan menghajar apa saja: mulut, hidung, mata, sekujur wajah, sekujur badan... pokoknya inilah hujan-hujanan paling brutal yang pernah saya lalukan.
Kepada anak-anak saya perintahkan untuk membangun bendungan dengan cara menyusun apa saja. Balok-balok bekas, panci rombeng, ember-ember rusak. Apa saja agar ia menampung sebanyak mungkin kubangan. Tetapi setelah bendungan itu meninggi, harus dihancurkan kembali. Kaleng-kaleng itu kami tendangi. Ember-ember itu kami rusak apalagi dasarnya ia memang sudah ember rusak. Setelah bendungan itu hancur kami membangun bendungan lagi setelah bendungan itu jadi kami rusak lagi.
Jika hujan ada tanda-tanda mereda kami saya mengajak anak-anak berdoa agar ia datang lagi. Apalagi mau hujan deras mau tidak toh kota kami kebanjiran juga. Jadi sambil kebanjiran, kenapa kami tidak sekalian berembira. Dan inilah saat anak-anak bisa menikmati hujan secara tak biasa karena langsung dikawal sendiri oleh bapaknya. Begitu penuh saya dan anak-anak menikmati hujan hingga berujung pada kelelahan dan sakit kepala yang berdentuman itu jadi lenyap entah ke mana. Rampung hujan-hujanan kelaparan mendera luar biasa dan saya membujuk anak-anak agar sekeras mungkin merayu ibunya, kalau pelru dengan bersujud di kakinya agar mau membuat mi rebus panas dengan tingkat kepedasan yang tak kalah gilanya.
Woo... istirahat itu ternyata bisa bersembunyi di balik apa saja. Tidak cuma di dalam tidur, tetapi juga di dalam kegaduhan dan hujan, sepanjang di dalamnya terdapat kegembiraan. Jadi hidup yang gembira adalah istirihat yang sesungguhnya!
No comments:
Post a Comment
Jadilah anda yang pertama