Angin baru mewarnai situasi politik Indonesia, ketika reformasi tahun 1998 bergulir. Sistem politik sentralistik yang dibangun oleh Orde Baru, secara tajam dikritik habis-habisan karena telah menyebabkan jurang pemisah yang tajam antara pusat dan daerah. Muara dari gejolak ini adalah ditetapkan kebijakan desentralisasi lewat produk yuridis UU No. 2 tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan UU No. 32 tahun 2005.
Undang-Undang Otonomi Daerah telah memberikan kewenangan yang lebih kepada pemerintah daerah untuk mengatur tata pemerintahan dan masyarakat di daerah tersebut. Dalam perkembangannya, arus baru ini mendapatkan respon yang beragam dari masing-masing Pemerintah Daerah. Salah satu respon yang menimbulkan kontroversi adalah Pemberlakuan Peraturan-Peraturan Daerat yang berlandaskan syariat (hukum agama), dalam konteks ini adalah Islam, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perda Syariah.