Tuesday, July 27, 2010

Jammed Jakarta: a History of Sprawling Growth and Poor Planning

It was a simpler Jakarta, and one now lost in time. Newly-independent Indonesia’s capital was abuzz with optimism and nationalist fever in the late 1940s — not to mention the sound of electric trolleys rolling through the city center and out to Menteng, which then was just a suburb.

The city’s streets, and its relatively efficient public transportation system, largely remained that way until the early 1960s, when a fateful decision forever altered Jakarta’s history. President Sukarno, foreseeing rapid growth, had the trolleys decommissioned and replaced with buses.

“The trolley was insufficient to transport crowds because it only had [at most] three carriages,” said Jakarta historian Andy Alexander. “If you add more, it doesn’t move.”

So the trolley lines were paved over with asphalt and replaced by giant gasoline-guzzling buses. City planners dreamed up thoroughfares to help push the city southward into the wetlands beyond Menteng.

But the envisioned road network never really happened, while development flourished virtually unchecked by regulations or zoning.
“They did have plans. They just never implemented them,” Alexander said. “Jalan Sudirman-Jalan Thamrin was good planning, but that’s it. Roads grew on their own, without any planning.”

Mohammad Danisworo, chairman of the Center for Urban Design Studies in Bandung, and an adviser to five Jakarta governors, says the city before independence was basically a network of kampungs. Newer ones sprung up in the 1950s and ’60s, he said, and all of them eventually joined the sprawl. “They built the houses, and the roads came later,” he said. “And sometimes those roads weren’t designed to handle this development.”

As a result, the city is sorely lacking in major east-west crossroads, but has an overabundance of one-lane roads snaking through neighborhoods and behind high-rise buildings.

Jakarta’s newer districts also were never designed to enable people to live, work, shop and take their kids to school in the same area. As a result, more than 1.25 million people make trips into or out of the city and back every workday. Modern urban planning dictates that “you plan everything in your neighborhood,” said Harya Setyaka S Dillon, a transportation expert. “That’s the problem: There was no vision for self-sustained communities.”

There was also no vision for pedestrians. Conspiracy theorists say foreign donors and international organizations such as the World Bank were eager to give loans and grants to build new roads and highways, all the better for imported American and Japanese cars. City officials gave scant consideration to sidewalks, crosswalks or other safety measures for foot traffic.

“Cities are [supposed to be] developed for people, not for cars,” said Milatia Kusuma Mu’min, Indonesian country director of the Institute for Transportation and Development Policy. “The city of Jakarta provides only for cars and motorcycles. Now there’s an imbalance — all the protection is for the motorist.”

Well, most of the time. Jakarta is all but absent of public parking space, which leaves little option but to park on streets and sidewalks, thereby increasing traffic bottlenecks.

“There is only a small space on the roads, and the cars take up more space, which causes more problems,” said Sutikman, 54, a “blue shirt” city parking attendant who has worked on Jalan Sabang near Menteng for the past 30 years. “But I don’t want to say that parking causes traffic problems, because then my superior would think I haven’t been doing my job.”

The way the city’s streets have developed, someone somewhere clearly didn’t do theirs.

source : copy paste http://www.thejakartaglobe.com

Wednesday, July 7, 2010

Sungai Serayu

SUNGAI Serayu yang berhulu di Dataran Tinggi Dieng dan mengalir membelah
daerah-daerah Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap, Jawa
Tengah, merupakan sungai yang legendaris.

Tak heran kalau komponis Soetedja menciptakan lagu Di Tepinya Sungai Serayu pada
tahun empat puluhan, menjadi lagu abadi sampai saat ini. Sebait lirik lagu
tersebut berbunyi:

Di tepinya sungai Serayu. Waktu fajar menyingsing. Warna airmu berkilauan. Nyiur
melambai-lambai. Gunung Slamet yang indah. Tampak jauh di sana. Bagai lambang
kemakmuran tirta kencana...

Namun, di balik keindahan Serayu yang digambarkan dalam lagu tersebut, sungai
yang bermuara di Samudera Hindia itu setiap tahun selalu membawa bencana banjir.
Khususnya di daerah Banyumas dan Cilacap, dan bahkan Kebumen. Ketiga daerah ini
setiap tahun menderita kerugian puluhan miliar rupiah akibat rusaknya rumah
penduduk, lahan pertanian, jalan dan jembatan serta sarana kepentingan umum
lainnya. Masalah banjir Serayu ini juga bukan merupakan barang baru bagi
masyarakat Banyumas.

Dalam buku babad (sejarah) Bandjir Serajoe Banjoemas tahun 1582 atau 419 tahun
yang lalu, tertulis kalimat Ana Utjeng Mentjlok Ing Manggar atau "Ada Uceng
(sejenis ikan) hinggap di Manggar (mayang kelapa)". Ungkapan itu menunjukkan
bahwa pada tahun 1582 pernah terjadi banjir Serayu yang besar dengan genangan
air setinggi pohon kelapa sehingga ada ikan yang hinggap bunga buah kelapa.

Terlepas benar atau tidaknya isi babad tersebut, kenyataannya setiap tahun
Serayu selalu banjir. Berbagai proyek dengan dana APBN maupun dana bantuan luar
negeri untuk menjinakkan Sungai Serayu terus dilakukan sejak zaman Belanda, era
Orde Lama sampai Orde Baru. Namun, Serayu tetap sulit dijinakkan, dan terlalu
ganas bila musim hujan datang.

Di balik keganasan itu, sungai yang selalu berair keruh ini mempunyai peran yang
cukup besar dalam peningkatan produksi pangan dan kelistrikan di Jawa Tengah.

Beberapa proyek irigasi yang memanfaatkan Sungai Serayu telah dibangun sejak
zaman Belanda, yaitu Jaringan Irigasi Singomerto dan Banjarcahyana di
Banjarnegara. Sebelumnya pada era Orde Lama adalah Limbangan Clangap, Tajum,
Gambarsari dan Pesanggrahan. Pada era Orde Baru, jaringan irigasi peninggalan
Belanda dan Orla yang sudah cukup tua itu direhab dan dibangun kembali.

Terakhir adalah Proyek Bendung Gerak Serayu (BGS) yang baru selesai dibangun
dengan biaya Rp 130 miliar, yang diresmikan tahun 1997 oleh presiden, pada waktu
itu Soeharto.

Proyek BGS ini berfungsi sebagai penampung dan pengatur air Serayu, dan mampu
mengairi sawah seluas 20.795 hektare lebih di daerah Banyumas, Cilacap,, dan
Kebumen. Dengan adanya proyek BGS tersebut, sawah yang semula tadah hujan kini
bisa panen tiga setahun dengan pola tanam padi dan palawija.

Sebelumnya, para petani hanya bisa panen sekali setahun. Itu pun kalau tidak
diganggu banjir. Keberadaan BGS itu jelas bisa melipatgandakan produksi pangan,
dan meningkatkan kesejahteraan petani di ketiga daerah itu.

Selain itu, BGS juga bisa mengendalikan air Serayu secara otomatis. Bila air
besar, pintu akan membuka. Sebaliknya, bila debit air kecil pada musim kemarau,
pintu akan tertutup dan air sungai akan tertampung. Teknologi yang cukup canggih
itu ternyata tidak mampu melawan bila alam sedang murka. Misalnya, bila banjir
besar tiba, BGS seolah tak berfungsi. Air tetap meluap menggenangi daerah
sekitar.


Hanyutkan Jembatan

Ketika BGS baru diuji coba, arus deras Serayu ternyata mampu merobohkan dan
menghanyutkan jembatan yang menghubungkan Kecamatan Kebasen dengan Rawalo,
keduanya di Kabupaten Banyumas, Jateng. Bukan itu saja, 11 hektare sawah dan
ladang bersama delapan rumah penduduk hanyut diterjang banjir Serayu yang ganas.

"Serayu pun melebar, sawah ladang tadi hilang dan berubah menjadi sungai, dan
mengancam keselamatan 36 rumah penduduk lainnya di Desa Cindaga," kata Bupati
Banyumas Aries Setiyono SH SIP ketika meninjau lokasi tersebut baru-baru ini.

Seorang penduduk Desa Cindaga yang sawah ladang dan rumahnya hilang, Kartawijaya
(60), menuturkan kepada Pembaruan, meskipun sawah ladang dan rumahnya hilang, ia
tetap ditagih Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Ternyata masih ada 7 warga lainnya yang mengalami nasib serupa seperti
Kartawijaya. Yaitu Suparto (50), Ny Kasem (48), Slamet Effendi (35), Sanurdji
(60), Wanaredja (65), Yasmiardja (60) dan Rana Rebo (55).

"Aneh tapi nyata. Itulah nasib yang saya alami" ujar Kartawijaya yang kini
tinggal di tempat lain tak jauh dari lokasi bencana tersebut.

Atas pernyataan tersebut, bupati memerintahkan Dipenda agar warga yang tanah dan
rumahnya hilang dihapus pembayaran PBB-nya.

Masalah BGS itu pernah dibicarakan rapat kordinasi di Pemkab Banyumas. Bendung
senilai Rp 130 miliar itu, ternyata belum bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Terutama dalam pembagian air irigasi. Beberapa daerah masih kesulitan droping
air dari bendung tersebut. Sehingga kasus rebutan air masih sering terjadi di
kalangan para petani. Terutama pada musim kemarau.

Masalah lain yang dialami warga di bagian hilir Serayu sejak dibangunnya Bendung
Gerak Serayu tersebut, adalah Sungai Serayu tidak lagi mengandung pasir, karena
tertahan di bagian hulu. Akibatnya para penggali pasir kehilangan mata
pencahariannya,dan harus berpindah ke lokasi yang masih mengandung pasir.

"Saya harus berjalan berkilo-kilometer untuk menuju ke bagian hulu bila akan
menggali pasir," kata Mardjani seorang penggali pasir Desa Kebasen, Banyumas.
Itu pun harus seizin para penggali pasir di bagian hulu bendung.

Selain itu pembayaran retribusi ke desa dan kecamatan tetap berjalan. Beruntung
solidaritas sesama penggali pasir cukup tinggi. Setelah Mardjani menjelaskan
masalah berkurangnya pasir di bagian hilir, para penggali pasir di bagian hulu,
mau menerima kehadiran Mardjani bersama teman-temannya yang lain. "Sungai ini
milik kita bersama," kata para penggali pasir itu.

Untuk menanggulangi erosi yang disebabkan arus Sungai Serayu,dan menyelamatkan
Jembatan Soekarno serta jembatan di sampingnya di Desa Cindaga, Banyumas, kini
tengah digarap proyek penanggulangan erosi Serayu dengan dana Rp 10 miliar
bantuan dari Bank Pembangunan Asia (ADB).

Erosi Serayu yang ganas itu telah menghanyutkan 8 rumah penduduk beserta sawah
ladangnya seluas 11 hektare dalam waktu sekejap saja. Hal ini mendorong Pemkab
Banyumas dan Pemprov Jateng bertekad untuk menanggulangi erosi tersebut. Bila
hal itu dibiarkan, maka tidak mustahil dua jembatan besar yang menghubungkan
Banyumas dan Cilacap itu, juga akan hanyut terbawa arus.

Salah satu jembatan yang telah terkikis bagian pondasinya adalah Jembatan
Soekarno, sehingga jembatan itu kini ditutup. Kendaraan dari arah Cilacap dan
Banyumas yang cukup padat, kini harus lewat jembatan di sampingnya yang dibangun
pada era Orde Baru.

Dana sebesar Rp 10 miliar itu berdasarkan perhitungan para ahli dari Balai
Pengelolaan Sumber Daya Sungai Citanduy dan Serayu. Bila dana tersebut ternyata
masih kurang, maka dilakukan perhitungan ulang. Apalagi proyek tersebut pernah
mengalami musibah, yaitu dengan hilangnya tiang pancang yang baru dipasang,
sebagian disapu banjir Serayu belum lama ini.

Proyek tersebut kini baru mencapai 40 persen, yaitu pembentengan tepian sungai
dengan beton mulai dari badan jembatan Sukarno sampai ke hulu sepanjang 800
meter.

Pembentengan tepian sungai ini, dimaksudkan agar arus sungai tidak berpindah
lagi ke selatan. Sehingga aliran sungai berjalan normal dan tidak mengikis
bangunan pondasi jembatan serta jalan di kedua ujung jembatan yang cukup vital
itu. 


sumber : kopas Suara Pembaharauan

Berita Terbaru